FANATISME UGAL-UGALAN
Aksi
persekusi dikalangan pencinta sepakbola atau yang sering disebut Supporter kini
marak terjadi. Bak wabah penyakit dari musim ke musim. Rivalitas dan fanatisme
adalah dua komponen besar yang mendukung perlakuan biadab ini, apalagi kalo
sampai meregang nyawa. Masih hangat diingatan kematian Rangga Cipta Nugraha
(2012), Ricko Andrean (2017) yang akhrinya tewas karena “kecintaan” terhadap
klub kesayangan.
Kematian  Rangga dan Ricko menjadi pemberitaan hangat
kala itu, membanjiri media sosial dan kanal youtube.
Duka dan rasa kehilangan bertebaran dimana-mana begitu juga dengan dendam dan
semangat melakukan aksi balasan pun ikut berterbangan. Rangga dan Ricko adalah
korban fanatisme buta saat menyaksikan laga klasik Persib vs Persija. 
19
Tahun konflik terpelihara dalam kotak Pandora, dijaga ketat dengan penagaman
ekstra berwajah intoleran. Rekor pertemuan kedua klub besar ini sejak tahun
2012 hingga 2018 sudah menelan korban jiwa sebanyak 7 orang, jumlah yang tak
sedikit bicara nyawa dan krisis kemanusiaan, tag line “Tak ada sepakbola seharga nyawa” selalu menjadi pahlawan kesiangan
seolah menutupi kegilaan atas dasar kecintaan yang berdarah-darah. 
Hari
ini Haringga Sirilla (23) kembali harus menghembuskan nafasnya karena pukulan,
benturan benda tumpul dan hunusan senjata tajam, semua terjadi karena tak
pernah ada kontrol atas fanatisme yang mulai jatuh ke jurang paling dasar yaitu
ugal-ugalan, kemudian hasrat hewani yang di bungkus kebanggan mengarah pada
proses kreatif yang lepas dari pendidikan kemanusiaan dan terpelihara tanapa
ada pembinaan  pemangku kebijakan.
Akhirnya kita hanya akan mempertanyakan tentang sanksi, bagaiamana sisitematis
sanksi itu bekerja ? adil atau tidak ? dan kembali pada pusara sebelumnya yaitu
pembelaan diriatas nama loyalistas,  percayalah
sanksi dalam kompetisi sepakbola hanya soal menghitung untung rugi dari nominal
denda yang diputuskan. 
Setelahnya
kejadian ritmenya akan sama dan menjenuhkan dimana otoritas penyelenggara liga  yaitu federasi sepakbola tertinggi tanah air
hanya bisa menyalahkan kedua klub dengan dalih pembinaan, aparat hanya
melakukan tugasnya, media mulai menggoreng isu rivalitas tinggi kedua tim,
hampir semua elemen dan kanal-kanal kesadaran tak ada yang memberikan edukasi atau
meluruskan fanatisme buta ini, bahkan api perseteruan malah merambat menjadi konflik
rasialisme antar daerah. 
Bandung
vs Jakarta, Betawi vs Sunda, rasa takut mengakui budaya sendiri dipastikan
bakal terjadi, konflik ini pun akan menggiring kita untuk menolak perbedaan dan
keberagamaan.  Lalu siapa yang harus
disalahkan ? bagaimana cara menanganinya ? jawabannya sederhana tak ada pihak
yang ingin disalahan, tak ada pihak yang siap menanggung resikonya bahkan
bertanggung jawab. 
Hukum
yang diberikan sejatinya tak memberikan efek jera apapun bahkan penulis berani
bertaruh di pertemuan dua klub besar saat musim depan nanti akan kembali menuai
korban jika tidak ada tindakan rescue. Jika rivalistas sudah sampai pada proses
penghilangan nyawa berarti dunia sepakbola tanah air sudah melanggar Hak Asasi
Manusia sama seperti peristiwa 65 serta tragedi kemanusiaan lainya dan pantas
untuk ditiadakan. 
Sebenarnya
kasus rivalitas ini bisa sangat diperbaiki, dari mulai para petinggi hingga
akar rumut harus mampu merakit tongkat estafet hingga fanatisme buta sepakbola
tanah air benar-benar sembuh, asalkan kesriusan untuk mencari duduk persoalan
bisa dilakukan secara masif dan terstruktur bahkan jika ini selesai, ketika itu
pula penyakit kemanusiaan bangsa akan mengalami pemuliahan yang sama. 
Yang
perlu menjadi sorotan adalah bagaimana organisasi supporter bisa terarah,
terdidik dan masif. Dasar psikologis pendukung tim atau supporter adalah semangat
membara, loyalitas tinggi, dan dedikasi yang kuat. Tiga hal ini setidaknya
menjadi bentuk cinta yang fundamental dan sudah pasti dimiliki fans militan
dari supporter manapun. Seorang tokoh cultural
studies, Stuart Hall, pernah menjelaskan dengan sangat sederhana bahwa
identitas adalah sesuatu yang dibentuk dalam kerangka sejarah dan budaya,
sesuatu yang diposisikan pada suatu tempat dan waktu. Ini pula yang menjadi
alasan bagaimana kelompok supporter bisa terbentuk, hanya saja faktor-faktor
ini akan menjadi sangat buas ketika mengalami kebutaan.
Fanatisme
buta dalam organisasi supporter bisa terjadi karena dihilangkannya budaya
Ottokritik dalam hidup berorganisasi. Anggota di bagian akar rumput hanya
memiliki hak untuk menyaksikan para petingi supporter melakukan sebuah atraksi,
romantisme, dan patriarki yang arogan. Maka menjadi sangat penting pembibitan
budaya ottokritik, ketika budaya ini bisa di berlakukan atau di biasakan,
secara otomatis keran demokrasi menjadi sangat terbuka lebar, tindakan
provokasi atau aksi yang dapat menimbulkan konflik rasial yang dilakukan
petinggi organisasi atau anggota bisa di kritik dan di evaluasi. Saling
bertukar gagasan akan menjadi warna yang asik, debat positif serta kritik
membangun akan mengkhiasai perjalanan organisasi supporter apabila budaya ottokritik
mulai di hidupkan.
Selain
itu budaya ottokritik dalam organisasi sepakbola berfungsi dalam mengontrol
pesatnya perkembangan sepakbola modern, maklum saja konflik yang
mengatasnamakan rivalitas ini tidak pernah lepas dari perkembangan sepakbola
modern, dimana Sepakbola modern bukan lagi sekadar olahraga. Kini sepakbola
sudah menjadi entitas ekonomi, kultural, dan sosial yang menguasai hajat hidup
orang banyak. 
Sialnya,
federasi tertinggi sepakboa tanah air lah yang dipastikan mengambil keuntungan
atas transformasi culture ini, disinilah
perlu adanya ballance, siapa yang
mampu memerankan tokoh penyeimbang jawabnnya hanya supporter, sebab mereka
adalah pemain ke 12, mereka memiliki basis masaa yang masif dalam mendukung tim
kesayangan secara otomatis mereka memiliki peran penting di luar entah dalam
kontek ekonomi, kultural dan sosial.
“Maka supporter jangan mudah
menjadi jinak ketika di panggil majikan”.
Kebiasaan
bertukar gagasan dalam tubuh supporter sesungguhnya tidak akan merugikan
siapapun, justru menjadi formula yang baru bagi klub sepakbola menemukan
permasalahan di tubuh tim atau manajemen. Supporter mampu menjadi “dokter gratis”
karena mereka paham atas apa yang dibutuhkan baik suplemen dan vitamin bagi
tim. Jika ini sudah berjalan selaras maka supporter tidak hanya di fungsikan
sebagai penghias di pinggr lapangan, namun benar-benar di posisikan menjadi pemain
ke 12. 
Proses
kreatif menjadi sebuah identitas bagi organisasi supporter, proses yang tadinya
adalah bentuk terror bagi “sang rival” akhir-akhir ini menjadi stimulus untuk
memeluk doktrin radikal bebas. Proses kratif  ini bercampur aduk dengan historis/romantisme
konflik personal para petinggi serta menjadi warisan yang masif ditularkan.
Slogan dan kata-kata provokatif malah di nilai sebagai sebuah bentuk dedikasi,
bahkan menyerahkan nyawa adalah sebuah bentuk kehormataan atas nama nyali.
Mirisnya hal ini akan selalu dikenang dan menjadi legacy  yang terus tertuang
secara kultural.
Hal
ini yang menyebabkan nafas konflik ini terus dipelihara sedemikian rupa, bahkan
menjadi sebuah normalisasi kehidupan sosial, yang lebih menakutkan konflik ini
menjadi sangat dinamis dan menyebar dengan berbagai bentuk. Hasilnya adalah
proses kreatif  kehilangan arah, yang
awalnya ada untuk mendongkrak semangat para pemain di lapangan, kini menjadi trend
yang menjawab sesuai dengan kebutuhan jaman. 
Proses
kratif juga merupakan tambang emas bagi sepakbola modern, dimana nilai ekonomi
akan membangun anak tangga sendiri, proses kreatif menjadi kunci hasrat
kapitalisme sepakbola modern mendopleng nilai penjualan jersey atau kaos-kaos yang bertuliskan rasisme dan tulisan-tulisan
itu dibiarkan menjadi pusaran loundry  untuk sekedar brainwash generasi sejak usia dini.
Kematian
Haringga Sirilla harus menjadi akhir dari cerita panjang perselisihan supporter
di tanah air. Konflik ini harus dikembalikan ke jalurnyanya dimana rivalitas
hanya ada di lapangan dan memakan durasi 90 menit saja. Peran fungsi seluruh
elemen masyarakat dan Negaradari mulai Otoritas liga, klub, supporter,
perangkat pertandingan hingga media masa perlu di sinergikan. Bentuk konkret
dan paling sederhana adalah belajar mengakui kesalahan, sebab ini adalah tanggung
jawab moral, bentuk loyalitas tinggi dan mental baja sebagai pribadi atau
seorang supporter. 
Edukasi
dari federasi, klub dan organisasi supporter perlu di tingkatkan pola kerjanaya,
dimana budaya-budaya kolonilaisme harus segera dihapuskan. Federasi harus mulai
membenahi sistem, regulasi serta mengkontrol hasrat politis anggotanya dan
mengembalikan fungsinya atas dasar kedailan. Klub harus bisa membuka keran
demokrasi dengan supporter dan merubah sudut pandang terhadap supporter dari
“sapi perah” menjadi patnership dalam menghadapi kompetisi dari musim kemusim.
Supporter harus menghapuskan virus dan tradisi konflik dengan mengontrol kadar
kebanggan secara pribadi atau komunal, menghapuskan kader fundamentalis serta
mampu menjalankan tugas dan fungsi sebagai pemain ke 12. 
Media
masa memiliki fungsi kontrol sosial. harus mampu mendukung progres positif dari
perkembangan sepakbola nasional, tidak hanya terus menerus melakukan skema atau
pola isu kadaluarsa dalam desk olahraga atau mementingkan rating dan follower
serta kliker saja. media masa harus menjadi kanal penyalur kesadaran, bahkan
menjadi alat peraga kampanye perdamaian. 
Pun
membentengi wabah fanatisme buta di tanah air media massa perlu menemukan
kembali formula dalam penyajian berita entah dalam bentuk tulisan atau dalam
bentuk yang lain. Penggunaan dan pemilihan diksi-diksi kalimat perlu di sortir
serta harus kembali ketahap pendidikian bahasa, pengelolaan logika penulisan.
Penggunaan
 kata “oknum” dalam pemilihan kata harus
kembali digodog di dapur redaksi. Kata “oknum” menjadi sebuah legitimasi halal
dan pembenaraan terhadap pelaku tindakan kekerasan. Pemilihan kata mesti
menjadi resistensi agar pemaknaan setiap kata-kata yang berwajah kebanggaan
kosong bisa dibentengi penyebaraannya. 
“Semoga
ini hanya ada di Indonesia dan atak ada di belahan dunia lainnya”
Istirahat dengan
damai kawan !
1. Rangga Cipta
Nugraha, 22 tahun, (Bobotoh), tewas karena tusukan senjata tajam 27 Mei 2012.
2. Lazuardi, 29
tahun (Bobotoh), tewas karena pengeroyokan 27 Mei -05-2012. 
3. Dani Maulana,
17 tahun (Bobotoh), tewas karena pengeroyokan 27 Mei 2012 
4. Gilang, 24
tahun, (The Jakmania Pekalongan), tewas di perjalanan pulang usai nonton
Persija vs Persib di Stadion Manahan, Solo, akibat jatuh dari kendaraan, 6
November 2016.
5. Harun Al
Rasyid Lestaluhu alias Ambon, 30 tahun, (The Jakmania Kali Malang), tewas di
perjalanan pulang usai Persija vs Persib di Stadion Manahan Solo, setelah
pengeroyokan di Tol Palimanan, Cirebon, 6 November 2016.
6. Ricko Andrean
(Bobotoh) tewas dikeroyok di sela Persib Vs Persija di Stadion Gelora Bandung
Lautan Api, 22 Juli 2017
7. Haringga
Sirilla, tewas dikeroyok.
Sumber data
dihimpun dari Save Our Soccer dan Bandungkiwari.com

Comments
Post a Comment