Jangan Sampai Sia-sia Jendral !
Pilpres 2019 telah mengukir sejarah bangsa, tensi
tinggi yang diwariskan keduanya akan diingat dan di kenang oleh generasi
selanjutnya. Banyak peran yang terlibat dalam kontestasi 5 tahunan ini,
dipantik sejak pilpres 2014, isu agama atau politik identitas menjadi bumbu
dalam perjalanan pertarungan Jokowi dan Prabowo. 
Masyarakat terbelah menjadi ras binatang yaitu
Cebong VS Kampret. Deligimatisi lembaga pemerintah pun hangat dihebuskan oleh
salah satu kubu, hasilnya adalah massa dari salah satu kubu terus saja
menyuarakan ketidakpercayaan terhadap kinerja pemerintah yang sah. Jauh sebelum
17 April isu ini sudah menjadi “tren”, bahkan indikasi “makar” mulai tercium
setelah pemilihan umum 2019.
Kalimat “People Power” yang dilemparkan tokoh PAN ke
publik menjadi legitimasi massa pendukung 02 untuk turun kejalan pasca
terpilihnya Jokowi-Ma’ruf sebagai Presiden Republik Indonesia yang ditentukan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) 22 Mei lalu. Bagi Jokowi ini merupakan kesempatan
terakhir, karena 5 tahun selanjutnya, ia sudah tidak bisa lagi memimpin Indonesia,
lalu bagaiamana dengan nasib kubu 02 ? 
Bagi Prabowo Subianto, pemilihan presiden tahun ini
boleh jadi merupakan pertaruhan terakhir. Purnawirawan letnan jenderal 68 tahun
ini telah tiga kali mengikuti kompetisi: sebagai calon wakil presiden pada
2009, berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri, serta dua kali menjadi calon
presiden, berduet dengan Hatta Rajasa (2014) dan Sandiaga Salahuddin Uno
(2019). Lima tahun ke depan, besar kemungkinan akan muncul tokoh-tokoh muda
yang menutup peluangnya kembali mengikuti pemilihan.
Sebagai sumbangan terbaik untuk negara di akhir
karier politiknya, alangkah baiknya jika Prabowo bisa mewujudkan pernyataan
yang selalu ia dengungkan: bersikap kesatria. Sikap itu semestinya ia tunjukkan
menghadapi proses penghitungan suara pemilihan presiden, yang jatuh pada Joowi
dan Ma’ruf Amin. Ketua Umum Partai Gerindra itu perlu menghormati seluruh
aturan main, betapapun ia menilai pemungutan suara 17 April lalu penuh
kecurangan. Ia semestinya melakukan perlawanan yang bermartabat, yakni dengan
membuktikan tuduhan kecurangan itu, lalu mengajukan gugatan ke Mahkamah
Konstitusi.
Kubu Prabowo-Sandiaga menyandarkan tuduhan
kecurangan pada setidaknya dua hal. Pertama, daftar pemilih tetap yang mereka
sebut menyimpan 6,1 juta data ganda plus 18 juta data invalid. Tudingan ini
sebenarnya telah disampaikan berulang-ulang sejak sebelum pemungutan suara.
Kedua, kesalahan input pada sistem informasi penghitungan suara Komisi
Pemilihan Umum yang dipercaya merugikan pasangan nomor urut 02. Poin ini
sebetulnya tidak cukup punya pijakan karena sistem informasi penghitungan suara
hanya alat kontrol sekaligus informasi buat publik. Penghitungan sebenarnya
akan menggunakan rekapitulasi manual berjenjang.
Kubu Prabowo mengklaim memenangi pemilihan jika
kecurangan-kecurangan yang mereka tuduhkan itu dibereskan. Persoalannya,
tuduhan itu tidak ada artinya jika kubu Prabowo tidak mengumpulkan bukti
kemudian menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Apalagi jika mereka justru
mencampurkannya dengan jargon politik yang tidak mendidik, misalnya menyatakan
Mahkamah Konstitusi tidak bisa dipercaya. Boleh jadi, kubu 02 tidak menggugat
karena selisih perolehan suaranya sudah sangat besar, yakni lima belasan juta
suara. 
Terlalu berat membuktikan tuduhan kecurangan yang bisa membalikkan hasil
rekapitulasi. Dalam posisi ini, kubu Prabowo tidak patut mengancam Komisi
Pemilihan Umum dan pemerintah dengan ajakan provokatif semacam people power.
Pelbagai gertak yang ditebar di media sosial justru dapat meresahkan
masyarakat.
Pasca, polisi dan militer telah dimobilisasi ke
Ibu Kota. Sejumlah penangkapan dilakukan terhadap tokoh yang dianggap
menyebarkan kebencianbetapapun pidato mereka masih dalam koridor kebebasan
berpendapat. Bahkan banyak pengusaha yang menunda mengambil keputusan bisnis
karena menanti apa yang akan terjadi pada 22 Mei. Prabowo dan pendukungnya
harus bertanggung jawab jika penyerangan terhadap fasilitas publik setelah
penetapan hasil pemilihan benar-benar terjadi.
Secara ketatanegaraan, Prabowo tidak mungkin
berkuasa dengan mengerahkan massa dan mengambil jalan kekerasan. Yang terjadi,
ancaman dari kubunya mengundang tindakan berlebihan dari pemerintah dan aparat
keamanan. Jika justru hal ini yang hendak dicapaidisusul amuk dan jatuhnya
pemerintahPrabowo tak otomatis menjadi presiden. Ia bahkan akan dikecam sebagai
penyulut petaka.
Kekuatan Prabowo sebenarnya tidak lagi utuh.
Partai-partai anggota koalisi jelas tak akan mengikuti langkah yang di luar
batas demokrasi. Partai Demokrat mungkin akan melompat ke seberang, ditandai
dengan pertemuan Presiden Joko Widodo dan Agus Harimurti Yudhoyono, dua pekan
lalu. Partai Keadilan Sejahtera, yang lebih menikmati efek ekor jas daripada
Gerindra pada pemilu legislatif, akan berpikir dua kali untuk mengambil langkah
ekstraparlementer. Demikian juga Partai Amanat Nasional. Patut diragukan:
apakah calon wakil presiden Sandiaga Uno yang memiliki masa depan panjang akan
melakukan “bunuh diri politik” dengan mengajak pendukungnya bertindak
anarkistis.
Tepat 21 tahun silam, karier militer Prabowo
berakhir. Ia diberhentikan dari Tentara Nasional Indonesia karena dianggap
bertanggung jawab atas penculikan aktivis. Tim penyelidikan bentukan pemerintah
juga menyoroti perannya dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998. Mengasingkan diri
beberapa tahun ke luar negeri, ia lalu menyusun langkah. Satu dekade terakhir,
ia membentuk partai dan menempuh jalan politik konstitusionallangkah panjang
yang terlalu berharga jika harus diakhiri dengan amuk dan kekerasan.
Maka ada baiknya kubu 02 yang masih tersisa kembali
merajut asa untuk mempersiapkan diri bertarung di pemilu 2024. Sikap ksatria
Prabowo sebagai pimpinan partai mesti ditunjukan dengan kemampuannya mengendalikan
perahu “indonesia adil makmur” kearah yang lebih menguntungkan dan strategis. Sun
Tzu seorang ahli perang pernah berkata bahwa musuh yang paling berbahaya adalah
diri sendiri, dan peperangan yang paling menyita perhatian adalah ketika kita
tak meganali siapa diri kita dan siapa musuh kita. 
”Jika
Anda tahu musuh dan mengenal diri sendiri, Anda tidak perlu takut hasil dari
seratus pertempuran. Jika Anda mengenal diri sendiri, tapi bukan musuh, untuk
setiap kemenangan yang diperoleh Anda juga akan menderita kekalahan. Jika Anda
tidak tahu akan musuh maupun diri sendiri, Anda akan menyerah dalam setiap
pertempuran . ”
– Sun Tzu , The Art of War
Comments
Post a Comment