JANGAN PERPANJANG STATUS DUDA MAS ANIES


“kau tak akan mengerti kesunyian ku menghadapi kemerdekaan tanpa cinta-“ kayanya bait puisi berjudul Kangen karya Sang Maestro WS Rendra ini seperti mewakili perasaan Anies Baswedan yang tengah diterpa kesendirian. Mas Anies ditinggal Sandiaga Uno untuk melaju ke kursi Cawapres menemani Si Bos Prabowo Subianto. Sang mantan membaca surat perpisahan untuk Mas Anies di depan sidang Paripurna DPRD Prov DKI Jakarta pada tanggal 27 Agustus lalu. Kini mantan Mentri Pendidikan itu harus bernafas hanya dengan satu paru-paru saja memutarkan roda pemerintahan di Ibu Kota. Hiks T­­_T

FOTO DIAMBIL DARI REPUBLIKA ONLINE 
Ayo siapa yang mau mimpi nemenin Mas Anies ? syaratnya cuma satu loh, siapkan mental untuk diberi gelar kampret. Eh tapi jangan salah gelar itu tuh menjadi bahan rebutan partai koalisi pengusung loh. Tarik menarik soal komitmen bener-bener membuat waktu tak mampu menjawab kegelisahan Mas Anies, ciaaan L wajar sih ring satu menuju RI broooo !

Sudah hampir menginjak 2 bulan Mas Anies ditinggal sendirian ditengah likat nya kabut rimba DKI. Selama itu pula lobi-lobi politik tak berujung pada kesepakatan. Ego kedua partai pengusung pun  belum menemukan titik temu, jika pun ada itu sangat mengandung unsur stategis masing-masing partai memenuhi hasrat kekuasaan. Imbasnya adalah kekhawatiran publik terhadap kinerja tunggal sang Gubernur semakin hari kian menurun, maklum saja DKI adalah sentral perjalanan wajah Indonesia, segudang project daerah ataupun pusat terpaksa harus sedikit terengah-engah dalam pembangunannya. Sabar ya Mas Anies..

Ada dua hal yang memperpanjang status “duda” mas Anies, Internal dan Eksternal. Pertama adalah Internal dimana hal ini menyangkut sekutu abadi dua partai  pengusung Ceu Ka’es dan Kang Rindra. Jelas Ceu Ka’es manyun-manyun dan menggerutu bicara soal calon pengantin Mas Anies.

Ceu Ka’es dengan narasi keagamaan dan Jihad Fisabilillah nya terus berupaya mencetak gol dengan berpegang pada komitmen Bos Besar Prabowo yang mengintruksikan Kursi DKI 2 di khususkan untuk Ceu Ka’es saja. Hal ini sangat wajar dan rasional mengingat pengorbanan Ceu Ka’es di beberapa pertarungan Pilkada selalu menguntungkan sekutu abadi nya Kang Rindra. Wajar sih Ceu Ka’es udah sadar banget bahwa air susu jangan di balas air tuba bagusnya sih dicampur kopi dan sedikit gula biar manyoooooss Pak Ekooo.

Sedangkan Kang Rindra keukeuh air susu gak usah di campur apa-apa, biar murni kaya ASI. Ini sangat kentara dengan usulan Kang Rindra untuk menyelenggarakan test Fit and Proper untuk calon pasangan Mas Anies nanti. Hal ini sangat membuat Ceu Ka’es geram sampai-sampai Ceu Ka’es harus mengeluarkan ancaman akan memberhentikan mesin politik Pilres 2019 nanti, “Mesin Mobil kaleeeeeee” kata Kang Rindra.

Mekanisme  yang di tempuh kedua partai pengusung ini cukup membuat mas Anies harus terus berdamai dengan kesendiriannya, di tengah hilangnya Hak Veto, ia harus berupaya meyakinkan masyarakat DKI dan pemerintah pusat akan kehadiran calon pengantin barunya untuk berupaya menyelesaikan janji-janjinya, sambil nyanyi lagu Iwan Fals Ku Menanti Seorang Kekasih.

Apakah Fit and Proper adalah win-win solution ? mungkin ga seorang Anies Baswedan meng-iya-kan mekanisme ini? rasa-rasanya belum tentu, jika saat ini Mas Anies harus beradu cepat dengan watu maka mekanisme yang sederhana lah yang menjawab kebutuhan mas Anies untuk memenangkan lomba. Artinya Fit and Proper bisa menjadi alat untuk Kang Rindra membuang waktu atau menguji kesetiaan Ceu Ka’es dalam konteks politik kewilayahan. Bahkan yang lebih parahnya bisa jadi mekanisme ini sengaja ditawarkan untuk memasukan nama-nama anak buah Kang Rindra sebagai bakal calon, tidak menutup kemungkinan kan. Kayanya Ceu Ka’es harus mengutip puisi Pak Sapardi, “Hey Rindra yang tertusuk padamu berdarah padaku”.

Jelas mekanisme ini membuat Ceu Ka’es suudzon terhadap sekutunya, jika benar mekanisme ini harus di tempuh maka  akan semakin panjang langkah Ceu Ka’es untuk menyandingkan calon yang sudah dikantonginya, pasalnya akan ada sidang Paripurna yang harus di tempuh setelah tahap pertama selesai.

Sebenarnya faktor internal ini bisa saja tak menimbulkan gaduh bagi Ceu Ka’es, asalkan Kang Rindra mau secara terbuka menyelenggarakan mekanisme tersebut, misalkan penyelenggaraan Fit and Proper dilakukan dengan melibatkan 3 stekholder, masyarakat Jakarta, Partai dan Mas Anies sendiri. Tapi jika mekanisme ini dijalankan secara tertutup tidak menutup kemungkinan kecurigaan Ceu Ka’es bisa jadi kenyataan. Nanti pribahasa sudah jatuh tertimpa tangga cocok buat Ceu Ka’es.

Faktor eksternal yang mendukung kesendirian Mas Anies adalah berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 pasal 176 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Bunyinya, pengisian wakil gubernur DKI Jakarta dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik pengusung. Artinya partai politik pengusung mengusulkan dua orang calon wakil Gubernur DKI Jakarta melalui Gubernur DKI Jakarta, pengisian kekosongan jabatan wakil Gubernur DKI Jakarta itu dilaksanakan apabila sisa jabatannya lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan itu.

Gambaran sederhananya adalah Mas Anies sebagai stekholder sudah tak memiliki wewenang dalam menentukan pasangannya. Macam Siti Nurbaya lah sob. Atauran ini juga yang memperkuat hilangnya Hak Veto eksekutif daerah dalam konteks mencari pengantin. Makanya banyak pakar yang mengatakan peraturan ini sebagai Undang-Undang yang aneh. Kaya masyarakat purba nemu api gitu lah. Hoaaaahoaa !!

Selain itu isi dalam aturan tersebut tidak dijelaskan deadine kapan harus meminang pengantin. Berbeda dengan kekosongan Wakil Presiden yang diatur UUD 45 Pasal 8 Ayat 2 batas kekosongannya hanya sampai 60 hari. Hal ini jelas menimbulkan sesat fikir dan menjadi multi tafsir bahkan bisa berujung pada kepercayaan, artinya masyarakat bisa saja tidak terlalu mengharapakan kehadiran Wakil Kepala Daerah. Kaya kamu yang berjanji mau gratissin biaya STNK dan bikin SIM seumur hidup my love.

Meski posisi Wakil Kepala Daerah ini sifatnya Subtitutif bukan Komplementer akan tetapi kehadiran seoorang wakil sudah diatur Undang-Undang dan kinerjanya mampu mempercepat alur pembangunan  dari hulu ke hilir. UU Nomor 10 tahun 2016 ini seolah memutarbalikan logika politik yang sudah terbangun, disatu sisi sistem kepemerintahan mewajibkan adanya wakil, disisi lain aturan menjegal itu semua. awalnya Paslon (Pasangan Calon) menjadi single parent.

Sepertinya jalan panjang kesunyian Mas Anies ditelurkan disini dan disambut oleh sidang Paripurna, kita tahu riiwayat sidang Paripurna tidak seperti rapat ditingkat ketua OSIS. DPRD menjadi penguhulu yang kemudian bisa menjelma juga sebagai algojo sebab sekali lagi kepentingan partai politik dalam hal berbeda pendapat atau sikap selalu berujung pada bentrok yang hasilnya adalah menjegal lawan tanpa mempertimbangkan kepentingan Rakyat.

Filosofinya dan dasarnya menjadi sangat dangkal dari  Pasal 8 Tahun 1965, Pasal 32 Tahun 2004, Perpu 1 Tahun 2014 baru kali ini User tidak punya hak menentukan pasangannya, yang awalnya kader atau individu oleh partai untuk rakyat, aturan aneh ini berhasil menyesatkan kita untuk kembali ke masa kolonial, dari partai, oleh partai untuk partai. Jadi untuk aku mana ?

Mas anies emang lagi dihantam badai kasmaran yang lebih getir dari hujan di Bulan Juni milik Pak Sapardi, kesendiriannya membawa Jakarta melamban mencari stasiun pemberhentian, kepentingan atas nama cinta Ceu Ka’es dan Kang Rindra berubah menjadi sebelah pisau. Begitu juga dengan Undang-Undang yang tak membawa kejernihan ia malah menjadi racun bagi Mas Anies. Sejatinya masyarakat DKI harus menggalang menyelenggarakan panggung puisi untuk Mas Anies biar beliau dengan lantang melanjutkan puisi Rendra, “Engku telah menjadi racun bagi darahku. Apabila aku dalam kangen dan sepi, itulah berarti aku tungku tanpa api.” GWS MAS ANIESSSSSSS !!!

Bandung, 23 November 2018

Comments

Popular posts from this blog

KEMERDEKAAN ALA ADDY GEMBEL FORGOTTEN

MENEMUI BATAS

PUISI RINDU