PADAMU PANDEMI (sebuah kebingungan sekaligus mencoba mendefinisikan puisi yang saya buat dengan judul yang sama)



Pandemi Covid 19 atau virus Corona telah membawa banyak cerita, bukan hanya kabar duka yang lalu lalang di televisi dan surat kabar saja. Luka dalam mesti ditanggung orang-orang yang kalah dalam soal ekonomi. Ada yang bilang Pandemi ini seperti marah Bumi, yang selama jutaan tahun harus terus menerima luka di tubuhnya karena ulah manusia, boleh jadi benar dengan jutaan fakta kerusakan bumi yang tiap hari jadi penghias gendang telinga dan memori retina.

Ada juga yang bilang, Pandemi ini adalah buah dari persetruan dua Negara Adidaya, anatara Paman Sam melawan Paman Ahjong, saling lempar tudingan dengan berbasis data intelijen, masing-masing kubu membuat kubu di jagat media sosial, ini sangat berdampak, terutama di jari-jari para netizen tanah air. Seperti peristiwa 10 November, netizen tanah air merubah media sosial menjadi medan perang antara kaum agamis anti komunis dan kaum nasionalis, ama seperti saat pesta demokrasi tahun lalu. Bedanya, saat itu sebutan hewan lebih pantas dari nama pemeberian seorng Ibu. Hasilnya ? semua orang mendadak menjadi konsultan dan analis kawakan, riset berdasarkan informasi gamang menjadi konsumsi setiap pagi bersama kopi dan pesan Whatsapp group yang dikirim sejak dini hari.
Boleh jadi Pandemi membawa orang menjadi ragu-ragu. Kenapa tidak ? di sini, negeri yang kaya akan pekik Revolusi. Ketidakpastian bukan hanya milik warga yang tak mampu berdamai dengan Pandemi. Tapi juga ditelurkan oleh pemerintah pusat, hasilnya sebuah produk yang tak bermakna namun berbentuk pun terwujud. Orang di luar sana menyebutnya Lockdown, tapi bangsa kami lebih senang dengan sebutan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Awalnya, program terasa seperti angin surga, layaknya vaksin masal dan siap disuntikan bagi kami yang khawatir didatangi hantu Covid 19. Berbagai aneka produk PSBB disajikan di televisi, mulai dari warna-warni status sebuah Kota atau Kabupaten, bentroknya bantuan dari Pemerintah Pusat dan Gubernur, pendataan yang terus menerus salah sasaran, bahkan stigma Positif dan negative lebih menakutkan dari pada isu-isu rasial dan Sara, ditambah penolakan jenazah orang dengan virus corona terjadi di beberapa tempat. Terlalu panjang rasanya saya megurai PSBB, yang pasti kebingungan ini lebih mengkhwatirkan dari virus tersebut. Nyatanya “imun” PSBB tidak memiliki esensi sama sekali, hanya menekan angka penularan tapi tidak meningkatkan nilai kesadaran. Karena ini tulisan saya, boleh lah saya menyebut PSBB melahirkan karakter baru, yaitu ragu-ragu, atau boleh jadi kebiasaan memberi ketidakpastian itu sudah menjadi watak para elit ?

Pandemi juga memberikan pekerjaan baru bagi orang-orang, yaitu menakar rasa lapar orang lain. Pekerjaan yang dulunya diamanahi oleh Lembaga kemanusiaan, kini menjadi tugas masing-masing. Lalu kemana perginya lembaga itu ? berbagai spekulasi dan kecurigaan atas lambatnya lembaga sosial menangani bantuan, menjadi sebuah alasan benih-benih keaktivisan muncul di dada pemuda pemudi yang juga kalah dalam soal ekonomi. Fenomena yang tak biasa, sebuah landscape dengan etalase mulia hidup dan berkembang di berbagai titik. Ber-merk solidaritas pertemanan, gerakan ini seperti jawaban atas nurani yang sudah kering menunggu uluran tangan pemerintah. Apakah ini masalah ? bagi sebagian orang mungkin tidak, tapi bagi saya mungkin akan menjadi masalah, kalau saya menyebut ini adalah bom waktu bagi sebuah pergeraka independen.

Menjadi persoalan, jika masing-masing yang datang dan mengulurkan tangan bukan karena keinginan mendalam, atau berdasarkan nalar dan nurani kemanusian, kalau bahasa penyair “Bisikan dari Hati”. Melainkan hanya sebuah keinginan untuk mencuri panggung dan eksis di lingkaran kawan-kawan. Bagi saya, sebuah kesadaran atas dasar kemanusiaan dan saling merasakan, perlu dijaga kualitasnya. Banyak tahap yang perlu di lalui  dan ditingkatkan dalam mengeola kesadaran yang lagi Booming ini. Pelik yang terjadi karena Pandemi harus menjadi langkah awal membangun estafet solidaritas di kemudian hari dan menyoa isu-isu yang ragam pula. Jangan sampai setiap bantuan atau ide gagasan, yang hadir di simpul-simpul pertemanan menjadi bukti bahwa “kebaikan” selalu menjadi bahan rebutan demi sebuah konten di instagaram.

Pandemi juga memberikan liburan panjang bagi kelas pekerja, siswa juga mahasiswa. Hastag #dirumahaja menjadi kata yang mudah diucapkan selain “Anjing dan Goblok”. Umat manusia harus mengenakan lencana #dirumahaja sebagai bentuk kepatuhan pada aturan yang berlaku. Sebagian pekerja membawa kerjaannya ke rumah atau biasa di sebut Work From Home (WFH), akibat kebijakan yang terpapar penyakit keragu-raguan, sebagian orang lagi harus terlunta-lunta dan terus berjuang di jalan mengais rezeki dengan resiko tinggi.

Fenomena yang cukup menarik, Pandemi berhasil membuat dua kutub yang berbeda namun memiliki dampak yang sama yaitu membuat orang mulai memahami dan mendefinisikan arti perjuangan. Bagi yang membungkus kerjaanya ke rumah, mereka akan dengan mudah membagi waktu dengan keluarga, memutus jarak kerinduan bersama orang tersayang. Bisa jadi WFH merupakan sebuah mimpi yang lama terkunci dalam angan-angan seorang pekerja. Selain itu WFH memudahkan sebagian orang melakukan aktivitas secara bersamaan, memicu saraf otak kiri untuk lebih kreatif lagi dalam menjalani hari-hari.

Sementara, kabar memilukan kerap datang bagi yang berjuang mengais rezeki di tengah Pandemi. Mereka harus tetap keluar rumah, mengalahkan waktu dengan baju zirah berupa masker, sarung tangan dan handsinitizer. Mereka adalah pasukan khusus yang berani memukul mundur hantu covid demi sesuap nasi, tak ada penghargaan baginya, jauh dari mendali kehormatan seorang prajurit terbaik dan menyemat Adimakayasa. Masih adanya “pegulat lapangan” ini adalah sebuah bukti bahwa PSBB hanya berpihak bagi yang berkecukupan, atau kata lain sebuah kebijakan yang merugikan, karena tadi kebijakan ini lahir dari Rahim ketidakpastian.

Lalu di mana letak orang-orang ini mulai mendefiniisikan perjuangan ? bagi saya keduanya saling terikat dan menginspirasi. Pandemi pula yang menguhubungkan jalinan kasih ini, sebuah kenyataan tak tentu rasa antara pahit dan manis kembali jadi persoalan bagi masyarakat tanah air. Bagi pekerja dengan stempel WFH di dada, apa yang dilakukan para petarung jalanan merupakan sumber inspirasi untuk terus meningkatkan produktifitasnya selama di rumah. Setiap jam, detik dan menit nilai-nilai perjuangan berguguran dari keringan orang yang masih harus keluar rumah, dan ini berhasil dipunguti oleh mereka pekerja WFH, bisa jadi, fenomena ini menjadikan sebagian para pekerja rumah menemukan energi untuk saling berbagi dan menjadi aktivis “berdurasi”.

Di kalangan entertain, realita ini disulap menjadi sebuah konten, entah apa yang mendorongnya, analisis saya, kalangan artis menjadi salah satu contoh sebuah “kebaikan” menjadi bahan rebutan di media sosial. Tentu, saya berharap, saat WFH insipirasi yang datang dari orang yang bekerja di luar rumah, menjadi sebuah tamparan dan suntikan imun untuk melakukan yang terbaik dan terus berupaya kretif selama dirumah, tanpa embel-embel apapun, atau dengan kata lain ikhlas.

Lalu bagi para pekerja di luar, bagi sebagiankalimat Work From Home merupakan sebuah motivasi agar bisa merubah nasib. Bahkan, dari kesaksian yang saya dengar langsung, WFH menjadi sebuah materi atau silabus pendidikan di rumah bagi sang anak, agar giat belajar, supaya hidup bisa seperti mereka yang berhasil mensiasati kebijakan dengan membawa pekerjaan di rumah tanpa harus bersentuhan dengan resiko terburuk. Tentunya, ini menjadi sebuah kabar baik di tengah situasi tak pasti Pandemi. Antara seorang pekerja WFH dan pekerja di luar rumah, memiliki keterikatan yang sama yaitu saling mendefinisikan nilai perjuangan demi kebutuhan masing-masing.

Bagi sebagian lagi, cerita di atas adalah fiktif. Merka ialah korban dari kebijakan yang tak stabil alias gagap atau labil. Kebijakan tersebut memang paling dirasa menyentuh kalangan yang harus memungut rupiah di luar rumah. Biasanya, para korban berkeluh kesah tetang keadaan melalui akun-akun sosial media milik mereka yang kemudian diteruskan oleh tangan-tangan mulia netizen Indonesia, hasilnya VIRAL dan sesuai harapan, hujan bantuan dari berbagai kalangan.

Baiknya, lembaga sosial tak lagi nganggur, mereka memiliki sedikit pekerjaan, dan para aktivis berdurasi membanjiri kebaikannya di sosial media agar yang lain ikut berpartisipasi atau terinspirasi. Tapi buruknya juga tak kalah penting, bagi saya jika para korban terus merawat lukanya tanpa ada keberanian sedikitpun untuk mengolahnya menjadi sebuah energi perlawanan atau minimal potensi kesadaran, maka kemungkinan terbesar adalah hadirnya mental pengemis baik saat pandemi atau setelahnya.

Kalau ini terjadi, luar biasa, negera ini harus mencari sebuah vaksin yang mampu menetralisir kebiasaan baru, selian penyakit ragu, budaya ini juga bisa menjangkit orang-orang dengan ekonomi rendah. Kemudian esensi perjuangan menjadi dongeng pengantar tidur generasi yang akan datang.
Selain itu, Pandemi memberikan angin segar bagi kaum pelajar. Liburan yang terus menerus diperpanjang menjadi ajang unjuk kebolehan belajar di rumah, rekayasa atau tidak kita tidak tahu. Yang jelas akun-akun sekolah di media sosial memulai feed nya dengan berbagai rekam jejak sang murid saat belajar dari rumah.

Namun proses belajar di rumah dinilai abu-abu, mengapa ? wajar saja sebagian dari orang tua miris dan mengeluhkan aktivitas yang “aneh” dari putra-purtinya, semisal penggunaan smartphone yang terlalu berlebihan. Kemudian, di usia yang dirasa belum cukup anak-anak harus mulai mengenal aplikasi demi sebuah materi, tanpa memeprtimbangkan baik buruknya, saya yakin semua orang tua memenuhi kebutuhan tersebut.  Itu mungkin sedikit negative, tapi ada juga yang positif, orang tua bisa mengontrol langsung bagaiamana potensi anak ketika mendapatkan sebuah materi, artinya orang tua menjadi paham betul dan memiliki tolak ukur sejauh mana si anak bisa menangkap pelajaran.

Efek yang lain adalah kedekatan emosional dengan keluarga menjadi semakin terikat dan mesra karena berbulan-bulan terus terkurung dalam ruang yang sama. Tentunya, ini menjadi strategi baru bagi pemerintah dan para pembisinis untuk menjadikan fenomena tersebut sebagai stimulus menghadapi covid, aneh rasanya mendengar bahwa kebersamaan dengan keluarga bisa menjadi benteng menghadapi hantu corona, tak ada riset menyoal itu.

Di balik imajinasi anak tentang libur panjang dan yang lainnya, ada kalanya kita melihat dan diperdengarkan dengan pil pahit bahwa belajar di rumah tak selamanya menguntungkan, lagi-lagi si miskin dan orang-orang di pedesaan harus kembali berkompromi dengan berbagai strategi demi sebuah materi dan Hegemoni sosial bernama pendidikan. Fenomena ini cukup menyayat hati, beberapa berita dan stasiun TV memperlihatkan bahwa jaringan internet tidak selamanya menguntungkan, nayatanya penemuan mutahir ini leih  mirip kebijakan pemerintah tak pasti dalm mennentukan target.

Kabut Pandemi yang palik menjadi sorotan adalah menjalani  Bulan Suci Ramdhan tanpa menjalakan salat tarawih atau kuliah subuh yang menjadi tradisi. Meski hanya sunnah, di negeri saya ini, salat tersebut sudah menjadi pelengkap ketika bulan suci hadir. Pengosongan tempat ibadah, juga beralihnya tausiah ke kanal Youtube dan Laman Facebook menjadi kenyataan yang mengganjal di tenggorokan. Dengan segala kerumitannya ini, Pandemi telah berhasil masuk keranah pribadi yaitu kehidupan beragama. Kesunyian bulan suci, kembali diheningkan oleh Pandemi dengan larangan untuk mudik dan ditiadakannya sementara salat Idul Fitri, orang-orang dipaksa melipat lengan untuk bersalam seolah mengunci pintu maaf, bahkan kerinduan melakukan ritual setahun sekali di lapangan atau masjid terpaksa harus disimpan dalam ingatan. Ceramah, atau khutbah dari khatib hanya bisa disaksikan di layar TV, sungguh Pandemi telah mengambil kendali. Dalam hati masing-masing harus menyediakan lahan lebih untuk menampung kerinduan akan kampung halaman. Tahun 2020 adalah role model baru untuk tahun-tahun selanjutnya di mana umat manusia harus hidup berdampingan dengan sumber kematian, dan saya yakin Pandemi ini adalah puisi dengan tema sunyi yang diciptakan penyair abadi bernama Tuhan.

Bandung, 29 Mei 2020


Comments

Popular posts from this blog

KEMERDEKAAN ALA ADDY GEMBEL FORGOTTEN

MENEMUI BATAS

PUISI RINDU