TUNAS ITU AKU...


Setelah makan malam yang romantis bersama kekasihku, dan kepulangannya membawa kesan yang mengakar dalam ingatan. Aku tersadar bahwa telah  kehilangan tokoh yang ingin kutulis dalam tulisanku, entah cerpen, puisi atau naskah lainnya. Tokoh yang sangat lihai membuatku lupa, ketika aku memikirkan dia akan berperan sebagai apa, saat itu juga dia selalu menemukan cara untuk lompat dari niatku untuk menuliskannya.

Kucari ia ditumpukan buku, satu persatu-satu setiap buku kubuka. Kalimat yang sudah kutandai dengan bolpint tak satu pun memberiikan petunjuk alamat di mana dia tinggal. Bahasa ilmiah yang kutemukan, juga tak satupun memberikan pemahaman ilmu yang dia pakai dan di mana dia mengenyam pendidikan. Bahkan, novel yang ikut menjadi sasaran pelacakanku, tak satupun tokoh-tokohnya yang mengaku pernah berjumpa dengan dia.

Kemudian pencarian, kulanjutkan di file-file yang tersimpan di laptopku. Dari ratusan naskah yang ada, tak sedikitpun kucium aroma tubuhnya. Puisi yang pernah kutulis, kembali kuselami dengan harapan ada diksi atau pesan yang tersirat, yang menunjukan kemana larinya tokohku itu. Cerpen yang sudah jadi, bahkan setengah jadi pun kembali kuikuti alur ceritanya, berbagai peristiwa di dalamnya terpaksa harus kususupi, harus kuakui menyelami kembali puisi dan cerpen yang telah kutulis adalah melepaskan jaitan atas luka-luka yang pernah bersarang. Meski begitu, aku harus terus mencari tokoh itu, sambil mengerang karena harus mengenang, aku harus menelan kenyataan bahwa dia tak pernah ada dalam file-file yang tersimpan.

Malam ini, adalah kali ketiga dia menguji kesabaranku. Sebelumnya, dia pernah menghilang sebanyak dua kali. Pertama , saat ia akan kuberi nama Hartosu seorang otoriter yang membangun jalan kepemimpinan dengan ribuan peristiwa berdarah. Penamaan ini terinspirasi dari dongeng sebuah negara yang dramanya hampir menyaingi cerita mahabrata. Ia menolak dengan tegas dan menghilang tanpa alasan. Sampai satu hari, dia kutemui di memo handphoneku dengan wajah memelas untuk diberikan nama yang disepakati olehnya.

Kedua, ia pernah minggat dan menghilang ketika akan kuperankan sebagai seorang eksekutif tanah air yang jago memita jatah uang jajan. Pada puncak klimaksnya, ia akan mengalami sebuah adegan dimana saat ia tertangkap basah, harus berpura-pura pingsan akibat mobil mewahnya menghantam tiang listrik. Kemudian, nantinya ia akan mengontrol dan mendesain orang lain agar berhasil menutupi dosanya terhadap negara. Paginya kutemukan dia sedang membaca buku tentang hukum, ia memandangi hukuman yang akan diterimanya jika ia menyepakati peranya sebagai wakil rakyat yang tak tahu diri. Kuminta dia kembali ke layar laptop, tapi tak sedikitpun tokohku itu bergeming, ia seperti sedang menatapi nasibnya ketika harus memerankan peran yang kutawari, sampai seruanku menydarkannya, perlahan dengan wajah ketakutan ia kembali dengan sendirinya.

Namanya adalah Tunas, bagiku nama itu sangat berarti luas meski sampai saat ini aku belum tau bagaimana karakternya dikemudian hari. Nama yang terpilih dengan spontan. Tunas , sangat potensial memainkan peran apapun. Saat kucoba untuk memerankan seorang murid, ia tak jumawa, ia tahu etika. Sebagai seorang murid yang taat pada guru, tak pernah sedikitpun ia melakukan bullying terhadap gurunya, atau pada temannya. Ia selalu setia memabwa pesan Tut Wuri Handayani, bahkan ia viral karena prestasi. Siswa impian !

Tunas selalu memukau, makanya aku sangat khawatir saat ia minggat dari kamar yang telah kurancang dalam pikiran. Kemudian kuberi ia peran sebagai mahasiswa aktif yang menahkodai satu Himpunan Jurusan. Tanpa cacat sedikitpun, ia mencermikan kepemimpinan yang baik. setipa buku yang ia telan dan diskusi yang ia telusuri , tak pernah ia menjadi komandan kampus yang mencari panggung untuk meningkatkan followers di instagran, facebook dan twitter. Bahakan saat ia gelisah menghadpi situasi, demo besar-besaran yang ia pimpin selalu berkelanjutan, bukan hanya ingin tampil di talkshow semisal ILC atau Matanajwa saja, ia behasil membawa jutaan aspirasi pada tujuannya, tanpa hastag #reformasidikorupsi di akun media sosialnya. Sungguh mahasiswa yang menjungjung tinggi Tri Darma !

Ketika kuberikan peran sebagai politisi, Tunas mendalami perannya dengan sempurna, menggunakan jas mewah, mobil Rubbicorn atau Alpard menjadi mainannya. Dengan gagah ia  meliuk-liuk diatas diplomasi dan janji-janji, dia akan kugambarkan menguasai bela diri paling tangguh yaitu silat lidah. Tak tangung-tanggung dalam perannya, ia berhasil menjadi penghasut, pegkhianat dan pemenang dalam kompetisi politik, meskipun ia harus menumbalkan jutaan perut yang tak berhenti minta di isi. Ciamik !

........

Sempat terlintas ingin kutelepon pacarku, untuk menanyakan apakah dia bertemu dengan Tunas sebelum meninggalakan rumah. Namun, sungguh tantangan berat dan beresiko tinggi. Aku takut ia curiga dan mulai berfikir yang aneh pula, bisa saja ia menganggap Tunas adalah manusia sungguhan dan berjenis kelamin perempuan. Bisa, karam hubungan yang telah melalui banyak badai selama bertahun-tahun itu. Belum lagi, jika nekat aku menelepon pacarku, ia sedang dalam keadaan tertidur dan roda mimipinya baru saja berpuar untuk memilih fantasi mana yang akan dituju. Tentu, nada indah dari mulutnya yang biasa aku terima, akan berubah menjadi lebih menakutkan dari White Walker sekalipun.

Di hari selanjutnya, aku menyambangi rumah kawanku seorang seniman kawakan yang kerap menyembunyikan identitiasnya sebagai seorang diplomat ulung atau politisi handal. Sesekali aku selalu memaksakan diri untuk menjumpainya, sekedar untuk menjemput inspirasi dari tema-tema yang akan kita diskusikan. Karyanya sedang hangat dinikmati anak muda, seperti kopi di kedai yang menjual senja sebagai instalasi. Karya yang paling digandrungi adalah musik, gener rock, metal, blues, rock n roll, keroncong, degung dan pop sunda selalu ia satukan menjadi hidangan yang gurih untuk didengarkan. Sungguh kawanku ini sangat tahu bagaimana menaklukan keadaan, seperti saat ia sedang berperan sebagai politisi.

Kadang dalam pertemuan itu, Tunas selalu tiba-tiba muncul dalam dialog kami. Tanpa sengaja ia melompat dari kantong celanaku, aku berhail melarikan diri dari lipatan dompet. Aku dan kawanku selalu bertukar gagasan mengenai proes kreatif atau startegi untuk tetap bertahan ketika panceklik ide sedang datang. Sudah tak aneh, masing-masing dari kami selalu menunjukan hasil karya dan tokoh-tokoh yang dihidupkan, salah satunya Tunas. Kawanku ini adalah yang paling kenal dengan Tunas.

“Bro, kamu lihat si Tunas ?” tanyaku, tanpa basa-basi sambil menikmati lantunan musk yang ia mainkan.

“Sudah lama sekai aku tak melihatnya, ada apa dengannya ? apa kamu tak berhasil mengurusnya?” balasnya sambil menurunkan tempo biola yang sedang ia mainkan.

Haduh, pertanyaan kawanku ini agak sulit untuk di jawab. Pasalnya, tak mungkin aku jawab Tunas minggat ketika akan kuberikan sebuah peran sebagai anggota dewan atau yang lainnya.

“Enggak, aku cukup sukses merawatnya,” jawabku singkat.

“Lalu kenapa dia sampai menghilang, dia begitu akrab denganmu,” katanya membalas cepat.

Aku melanjutkan dengan diam, dan kawanku tak meghiraukan. Kemudian ia kembali memainkan biolanya. Pelan-pelan ia memainkan campuran-campuran genre, musik yang sedang diidamkan oleh generasi Z.

Aku lebih baik permisi saja.

Kususuri setiap ujung jalan, ruang-ruangg kecil di jalanan tak ada yang lepas dari pantauanku, semuanya hening, kadang aku berfikir pencarian ini adalah perjalan tanpa tujuan. Entah telah berapa langkah kuhamburkan, tahu-tahu aku sudah berhadapan dengan gerbang kayu penuh warna, rumah sahabatku seorang pelukis. Rumah sang pelukis jauh berbeda dengan kawanku si seniman rupa wajah, rumah ini lebih mewah, luas , dan seklias menyerupai kastil dengan luas lapangan bola. Seorang pelayan membukakan gerbang kayu penuh warna itu, membawaku ke studio sang pelukis  yang bertempat di pinggir rumahnya, studionya jelas lebih besar dari rumahku. Rumah serupa istana ini begitu dingin dan kontras, bahkan bisa dikatakan ekstrime kontrasnya. Sang istri bak ratu yang kecantikalnya mampu melumpuhkan siapa saja, dan kawanku si Pelukis hanya pria biasa dengan keberuntungan yang luar biasa, ratusan juta rupiah ia hasilkan dari cat yang berliuk-liuk di canvas.

Tak ada yang menarik perhatianku, warna-warni itu hanya mengingatkanku pada lampu-lampu club, dahagaku tak terpenuhi melihat lukisan ratusan juta. Aku hanya menyisir setiap sudut studionya, untuk mencari Tunas, barangkali dia sedang berkenalan dengan gadis-gadis telanjang yang jadi ciri khas si Pelukis.

Cari apa ?” pertanyaannya cukup membuyarkan pencarianku.

“Melihat lukisanmu,” jawabku singkat

“Tapi dari tadi matamu tidak mengarah pada lukisanmu, apa yang kau cari,”

Pertanyaan yang menyudutkan, dia, si Pelukis bukan orang yang pas untuk diajak diskusi tentang Tunas dan bagaiamana lihainya Tunas dalam menjalakan peran-perannya. Taka lama aku di sana, aku langsung minta diri agar dia tak mencium bau gelagat aneh lagi.

Kemudian aku memutuskan untuk ke rumah seorang penulis novel dan cerpen. Kurasa ini adalah tempat yang pas untuk menanyakan di mana Tunas berada. Siapa tahu, Tunas sedang berkumpul dengan tokoh-tokoh fiksi dan sedang mengadakan sidang proses kreatif. Aku tahu sang novelis dan cerpenis ini memliki banyak sekali tokoh, kerenanya, ia tak pernah menggunakan tokoh yang sama untuk novel atau cerpennya.

Novel kawanku ini seperti kue bronis. Laris manis. Royaltinya seperti sungai Mahakam, besar dan mengalir jauh. Bisa dikatakan untuk ukuran lokal kawanku ini adalah seorang penulis yang kaya. Rumahnya luas dan bertingkat, mobil dua. Meskipun aku jarang ke rumahnya, aku sangat mengagumi dia, karena dia tetap seperti apa yang aku kenal sangat bersahaja.

“Ada angin apa, si Besar berlabuh di sini ?”

 “Ah, kamu ada-ada saja, entahlah pelabuhan ini selalu menarik perhatian saya,”

Dia bangkit dari depan laptopnya, menyudahi sementara audisi untuk tokoh-tokoh barunya,seperti biasa dia selalu menyambutku dengan senyum yang sangat riuh dan teduh.

 “Apa Tunas akhir-akhir ini datang ke sini ?”

Seketiga kulit dahinya bergelombang, kedua alisnya hampir berbenturan seiring dengan senyuman picik khas sosok yang angkuh menyambut pertanyaanku. “Tumben kau bertanya Tunas, bukannya dia selau di sakumu ?”

“Ya, aku kehilangan dia, lagi.” Kataku.

Menyambung jawabannku, aku sedikit menceritkan salah satu karya yang ingin kubuat, namun sedikt terhambat karena hilangnya Tunas.

“Aku curiga, dia tidak menyukai peran yang akan kau berikan. Mungkin dia ingin tokoh yang lebih berpengalaman, atau bisa jadi keraguan Tunas adalah keraguanmu juga ?”

“Mungkin saja, “ jawabku

“Tapi, jika kuberikan peran yang lain aku takut terlihat seperti sinetron, dan sinetron itu selalu menjadi ciri khas dari karyamu…”

Kita tertawa bersama, sambil menikmati lagit sore yang ingin segera beristirahat.

“Jujur, aku takut Tunas tak kembali, aku bingung harus mencari ke mana..”

“Seperti baru kemarin saja kau besarkan Tunas, tenang rumahmu adalah rumahnya, jiwamu adalah tempat dia berteduh.”

.........

Pada malam yang sama, saat aku menghabisakan malam bersama sang kekasih, juga setelah kepulangannya kerinduan pada wanita itu mereda, aku terlentang di atas kasur. Tak lama samar-samar terdengar pintu rumahku diketuk orang. Ketika kubuka pintu, dalam keadaan yang remang-remang berdiri seorang pria dengan penampilan yang membuatku terpana, tak seperi biasanya : rambutnya panjang lebih dari sebahu, badannya besar, menggunakan kaos hitam bertuliskan “I Will Be Herad” judul lagu band Hatebreed, band Hardcore Metal asal Bridgeport USA, celana jens belel dan robek pada bagian lutut. Aku merasa tak asing, sontak ingatanku bergelayut dari tahun ke tahun, aku terpatri pada satu titik dan mengingat soosk itu selalu nampak di cermin. Pria itu adalah AKU !

 “Siapa kau?”

Pria itu melemparkan sorot runcing dari dua matanya. “izinkan aku masuk, aku ingin istirahat” aku memberinya jalan tanpa perlawanan, meski di dada dihujam ribuan tanda tanya.

“kamu tak sedikitpun mengenaliku ?” tanyanya sambil melewati badanku yang kaku.

Pria itu melepaskan aroma masa lalu, mengalahkan wewangian saat ini.

“Kuakui, kau mirip sekali denganku. Aku seperti bercermin. Tapi kamu bukan aku, tak pernah berani bayangnku menyurapai yang lain.”

“Aku Tunas.”

Jawaban yang menyudahi sebuah pencarian, menyelesaikan segala urusan namun menghadirkan jutaan pertanyaan di keningku.

Kini kenyataan membuatku tersedak, “tidak mungkin,”

“sulit mengelak bukan ? ini konsekunsi yang harus kau telan.”

“Tunas adalah milikku, tokoh ciptaanku, dia mau jadi apa, itu semua terserah padaku, dia tak pernah 
menentukan ingin menjadi apa dalam ceritaku..”

Pria itu terbahak, menambah keraguan di kepalaku.

Ia masuk ke kamarku, medekati meja. Satu persatu catatanku dihamburkan, puisi yang kubuat dibakar, cepen yang kutulis ditertawakan. Seperti kesurupan, ia mencari sesuatu. Kemudian berhenti tepat di depan layar laptopku yang masih polos tanpa tinta digital. Kurasakan energi yang luar biasa, jari-jarinya menggedor setiap file di laptopku, sampai ia menemukan tulisan yang belum selesai. Kemudian ditekannya CTRL+ H.

Melihat itu aku tak berdiam diri, segera kuhadang amukannya. “Apa yang kau mau ?”

Sayang tenaganya terlalu kuat, badannya seperti tank. Aku tertahan dan hanya mampu menatap layar 
laptop ketika nama Tunas di ceritaku yang belum selesai diganti dengan namaku.

Karena sesama pria, kucoba mengeluarkan kemampuanku, namun sayang ia melemparku seperti puisi yang tak terpakai, aku terjengkang, kalah dalam pertarungan yang seharunya kumenangkan karena itu hak ku. Aku terlempar, dan tak sadarkan diri.

Cukup lama aku tak sadarkan diri. Sampai suara gaduh membangunkanku, tiba-tiba aku terbangun di sebuah perpustakaan besar yang ramai dengan buku. Di Al Qarawiyyin kah ?

“Selamat datang, dan selamat berjuang.”

Aku menengok. Di depanku berdiri Tunas dengan wajah yang puas, sambil menggengam sebuah buku berjudul “masa lalu.”


Bandung, 31 Mei 2020

Comments

Popular posts from this blog

KEMERDEKAAN ALA ADDY GEMBEL FORGOTTEN

MENEMUI BATAS

PUISI RINDU