Padamu….


Siang ini, aku dan Ibu mengumpulkan keberanian. Setelah semalam kami berdua babak belur dipukuli persoalan. Dua tahun yang lalu hal serupa pernah terjadi, yang membedakan adalah waktu itu aku saja yang maju menyelesaikan persoalan.

Hari ini, meski matahari cukup menyebalkan. Kami berdua harus bisa melalui jalan panjang dan berduri itu, kami harus merelakan pakaian berlubang, sepeda motor yan
g dipakai mengalami kebocoran, dan keringat yang bercucuran sudah berubah menjadi bau badan. Itu semua harus kami lalui dengan menyediakan kesabaran yang luas di dada kami.

Cibir tetangga, sudah kami telan bertahun-tahun lamanya. Gunjingan sudah seperti aroma kentut bagi kami, kadang hilang juga datang tak diundang. Orang-orang malu berhadapan dengan kami, jangankan ketawa atau saling melempar senyum, melihat wajah kami pun mereka sudah alergi. Kenyataan yang harus aku simpan di saku celana selain receh dan doa-doa.

Kami berdua melangkah, pelan-pelan, dengan sekujur tubuh kami dibasuhi harapan dari keluarga tercinta. Kami yakin persoalan ini akan selesai dengan menyenangkan di tangan kami berdua. Meski perih rasanya, melihat usia Ibu yang tetap harus menyulam keadaan, juga kami semua harus menambal kebocoran yang menahun selalu merepotkan. Tapi ini lah hidup, aku dan Ibu kembali berjalan menyusuri lembah menuju pencarian.

Kugenggam erat tangannya, sesekali kupeluk sambil berjalan. Mengelus bahunya, setidaknya aku berusaha mengusir kemelut yang mungkin hinggap di dingding nuraninya. Matahari menyoroti perjalanan kami. Aku dan Ibu seperti bintang film yang disaksikan mata yang lain, panasnya seolah menguji kesabaran kami, rasa haus yang melilit seperti medan uji nyali bagaimana kami berdua mampu melipat matahari sampai titik mampu.

Wajah ibu sesekali merasa kelelahan, ketika kutawari punggung atau pangkuan, Ibu selalu menolak dengan alasan yang meyejukan juga megugurkan niat untuk melawan.

“Ibu masih mampu, kamu urusi saja dirimu,” kata Ibu pelan dan penuh perasaan.

Waktu tiu kami bermain tempo, bagaimana mensiasati terik matahari agar tak terlalu membakar ubun-ubun dan meledakan kepala. Dua buah botol air dengan berat satu liter, terikat di pinggangku, kata Ibu itu akan kita gunakan ketika keringat dan airmata sudah tak lagi bisa mendamaikan rasa haus. Meski terkadang jernihnya air itu, menggangguku, seperti wanita dari dongeng fantasi yang melambai-lambai  ingin menyelesaikan konflik di tenggorokan.

Aku kembali memeluk Ibu, dan ibu hanya tersenyum, langkahnya sedikit melambat, entah karena ini menikmati pelukanku atau rasa lelah telah hinggap di kakinya. Tapi Ibu tak mengeluh, nafasnya masih beraturan, keringatnya turun bergantian, wajahnya tetap menyala, aku menemukan pintu surga di sana.

Berkilo-kilo meter, kami berdua telah meninggalkan rumah. Melepas jauh lambaian tangan keluarga, serta keinginan yang menjadi awan hitam di kepal kami berdua. Tapi wajah ibu masih saja tegar menghadapi situasi, ibu masih bisa tersenyum sendiri seperti sedang berdialog dengan sesorang dalam dirinya, dalam pelukanku Ibu tak mengeluarkan keluhan apapun, aku merasa nyaman berjalan dengan “kekasih” Tuhan.

Kakiku mulai panas, akibat peluru matahari yang ditimbun di aspal dan tanah, maklum saja tahun lalu kami bertualang dengan menggunakan sepeda motor. Tapi kali ini tidak. Kata Ibu, jalan kaki selain menyehatkan badan, memperkuat imun dari serangan virus, juga memperkuat iman. Berjalan kaki adalah kunci memaknai hidup yang tidak selesai dengan kaliamt “melangkah saja”. Kuajak Ibu berhenti sejenak, di dekat pohon beringin tua. Rasa haus seperti ular yang meilit leherku, aku duduk dan bersandar di pohon, menyandarkan lelah pada daun hijau yang menimbun kesejukan. Lalu Ibu duduk di sampingku, seraya menyentuh rambut dan itu mendinginkan kekesalanku pada keadaan.

Kemudian Ibu membantuku membuka sepatu, aku menolaknya, mungkin terbilang cukup kasar, tapi ibu tak bersikap sepertiku, meski aku tahu ada makhluk buas dalam dirinya dan ketika marah menyulut kandang, tak ada yang bisa mengurungnya kembali. Pengalamanku hanya Tuhan yang bisa menjinakan makhluk itu.

Aku menolak dengan penuh tekanan, tapi ibu memaksa dengan lembut. Itulah dia, wanita penghulu surga yang selalu mampu menciutkan nyali anak lelakinya. Aku pasrah saja ketika ibu membuka sepatuku. Lembab dan sedikit lecet mewarnai alas kakiku, aku merintih kesakitan, sedikit bergumammpada Tuhan, berharap akar pohon yang menhujam dan batangnya yang menjulang ke langit bisa menyampaikan keluh kesahku itu.

Tiba-tiba saja Ibu mengambil satu botol air di pinggangku, dibasuhnya kakiku, dan rasa panas serta nyeri itu reda seketika. Aku terpaku melihat tindakan ibu. seperti petir di siang bolong, aku tersambar. Bergejolak badanku, batinku, marah tumbuh di dadaku, seperti ingin meroket, terbang ke udara. Kututupi wajahku yang merah, malu dan haru menampar kudua pipiku.

“Ini Petaka Ibu, petaka bagiku Ibu,” kataku merintih sambil menutupi wajah

Aku meronta, seperti anak usia lima tahun. Menangis sejadi-jadinya, aku berteriak dan berharap ada jawaban atas petaka yang nampak di depan mata. Kurangkul kaki Ibu, yang berdiri di hadapanku, membenturkan dengan pelan kepalaku pada lututnya yang masih kokoh meski usia sudah menggerogoti. Air mata membasahi celananya, kusentuhi bagian seluruh bagian kakinya. Aku mencari sesuatu untuk di buka saat itu, kuciumi sepatu ibu, tanpa menghiraungkan lumpur serta debu yang menempel. Seketika aku kembali terhenyak, mencium aroma itu…

“Ibu, ini…. Ibu kenapa ?”

Aku menegadah melihat padanya, wajahnya menghalangi matahari, dengan kepalanya aku terlindungi. Ibu seperti malaikat sepanjang zaman. Aku kembali menangis sejadi-jadinya, memaksa Ibu membuka sepatunya. Tak ada ekspresi apapun dari Ibu, dia hanya menyentuh kepalaku, mengusap rambutku. Aku semakin menjadi, seperti bocah ingusan, aku tak mampu membuka tali sepatu ibu.

“Tuhan…Ya Tuhan…ampuni hamba”

“Bu, mohon buka saja…istirahat di sini, biar saya yang meneruskan…”

Ibu tak bergeming sedikitpun..

Akhirnya Ibu menyandarkan badanya pada batang pohon beringin tua itu, sama sepertiku. Pelan-pelan ia mengangkat ujung celananya, dan kulihat lebab sudah ada juga kulit yang memerah. Tak kuasa aku melihat keadaan itu, aku seperti dicemooh semesta, terkutuklah aku membiarkan wanita paling mulia ini menahan rasa sakit seperti itu.

Kulepas sepatunya, dan aroma amis tercium lagi, kaos kaki yang ia pakai sudah basah, bau nanah dan darah. Aku terkulai lemas, tertunduk malu, menggerutu pada yang sedang dihadapi. Sumpah serapah yang bebal di dada kusimpan sementara demi tidak melukai hati makhluk yang paling mulia. Kubuka kaos kaki Ibu, betul saja, luka-luka lama bekas perjalanan menahun di dataran kehidupan kembali menganga, sebagaian sudah bernanah, sebagian membiru dan hampir menghitam. Luka robekan panjang nampak begitu mengenang, luka lebab di alas kakinya itu adalah tanda-tanda perjuangan. Dia membesarkan aku, jelas ada luka yang timbul karena aku…

Aku menangis tanpa berani melihat wajahnya, air mata ini seperti tak berarti apa-apa dibandingkan luka di kaki Ibu. ingin sekali kupanggil malaikat pencabut nyawa untuk menyudahi pemandangan itu, tapi apa daya aku bukan Nabi. Kuambil air yang tersisa, bekas basuhan pada kakiku, kubasuh pintu surga itu. Kurobek pakaianku, untuk menyumpal darah yang tak berhenti mengalir. Sejujurnya aku tahu, robekan pakaian itu tak akan meredakan sakitnya.

Aku ingin menyembuhkan ibu, meski kami harus berpacu dengan waktu. Pelan-pelan kubasuh, dengan setiap doa kukendalikan lenganku berharap bukan hanya luka fisik saja yang terobati, tapi luka yang menahun dan berkerak sekalipun bisa aku sudahi.

Surga itu kini terlihat lebih baik, meski goresan dan lebab bersarang di pintunya. Aku bersimpuh di sana, berharap ada setitik pengampunan yang bisa menyelesaikan persoalan di pundakuku, di pundak kami semua. Hanya menangis, dan tak berhenti memuliakan nama Ibu dalam hati. Aku yakin sepasang mata yang lain juga menikmati.

“Nak, perjalanan masih panjang, jangan kamu sesali luka-luka di kaki ibu, itu bukan karenamu, bukan karena apa yang Ibu tempuh, tapi itu adalah restu dan peta dari Tuhan agar Ibu bisa tegar menjalani hidup,” kataya sambil menyentuh lagi kepalaku.

“Kita, harus terus bangkit dan perjalan tanpa mengenal kata berhenti selain panggilan Tuhan untuk pulang menuju keabadian, perjalanan ini haruskita tempuh lagi Nak, ayo bantu Ibumu berdiri,” katanya.

Aku ditelanjangi cakrawala dan disuntik doa-doa ibu, kita berdua berdiri dari peristirahatan itu. Dan lembah pencarian masih menunggu kedatangan kami juga kedatangan para petualang yang lain.


Bandung, 7 Juli 2020

Comments

Popular posts from this blog

KEMERDEKAAN ALA ADDY GEMBEL FORGOTTEN

MENEMUI BATAS

PUISI RINDU