Pria Bermata Satu dan Kalimatnya


Aku mendengar cerita ini dari kabar-kabar yang terbang dan hinggap di mulut-mulut kesadaran. Diantara sedertan persoalan yang hinggap di awan pikiran. Cerita tentang pria bermata satu itu menganggu tidur malamku.

Sebelum mataku terpejam, sebuah kata-kata dari buku yang kubaca melintas dan melibas rasa kantuk. “Kalian Bungkam atau Bunuh Kami, Suara Kami Akan di Terdengar Lebih Lantang di dalam Kubur daripada di atas Bumi,”

Kalimat itu menyeret pada lamunan yang menari-nari atas keberhasilannya mengusir rasa kantukku. Aku terperanjat, menghela nafas panjang, mencoba memanggil kembali kantuk yang sudah pontang – panting tak karuan. Beberapa detik berselang, wajah si pria bermata satu seperti muncul di langit kamarku, dadaku berguncang, cemas dan ketakutan. Wajah itu, bersuara mengucapkan kalimat yang sama dengan buku yang kubaca, pelan-pelan kemudian mengeras, suaranya memaki padaku mengulang kalimat yang sama. Semakin keras semakin merinding bulu kudukku, lelaki bermata satu itu serupa hantu yang menyerap rasa takut. Dan ranjang ini bergoyang, dari kolong ada yang menggedor, bergetar pula sanubari.

Kuberanikan diri menengok ke bawah, dengan melipat segala ketegangan dan mengolah segala keraguan. Kusiapkan segala kemungkinan jika benar yang membuat bising di bawah adalah sosok Pria dengan mata satu. Tak kubiarkan waktu semakin mempreteli keberanianku sebagai laki-laki. Sekuat tenaga kutengok tanpa harus menjatuhkan badan. Keringat berjatuhan, ketakutan bergelayutan dan dunia terbalik. Di bawah, hanya ada gelap dan debu juga kardus yang tertutupi kain putih. Rasa tegangku mereda, kujatuhkan badan, kususun kembali ketegangan, kemudian kutarik kardus yang berisi tumpukan buku itu.

Saat kubuka, kembali aku di kagetkan oleh suara yang mengucap kata yang sama. Tanpa ada bayangan wajah pria bermata satu. Suara itu terdengar merintih kesakitan, hanya sekali kemudian suara tangisan ditahan, mengiringi keberanianku membuka kembali buku-buku itu.

“Semoga saja kutemukan satu buku yang mengutip kalimat itu, agar tenang istirahatku malam ini.”

Tak ada satu pun buku yang mengutip kalimat itu. Aku mencari kunci perpustakaan pikiranku, mencoba mencari referensi tentang kalimat itu. Terpintas satu masa yang pengap dengan kepala tangan dan kelelahan di kejar-kejar kekalahan. Dalam lamunanku, masa itu tak memberikan jawaban tentang kalimat tersebut, kusudahi semua, dengan bebal di kepala dan jutaan pertanyaan yang mengundang rasa kantuk datang.

“Jangan pergi lagi, aku ingin kamu,”

•••••

Di dalam kelas, kantuk semalam masih bersarang di mataku, mereka mewarnai kantung mata dengan warna hitam, dan merah di antara retina. Di ruang 5 kali 6 meter ini kugantungkan pertanyaan semalam di salam proyektor, absensi, dan white board.

Kuperhatikan sekitar, tak ada diskusi tentang dia. Di dalam kelas semua sama, dosen mengajariku teori peradilan di Negeri Kayangan, yang bagiku leih mirip Hukum Rimba. Sebagai mahasiswa hukum aku menjalani takdir tumpul di atas dan tajam ke bawah, keyakinan itu selalu goyah di hadapan kenyataan bahkan di secarik nilai yang dikuasai oligarki dosen.

Kadang, mendengar ocehan tentang supermasi hukum di era globalisasi rasa muak lebih kuat dari kantuk yang selalu datang melebihi godaan setan.

Aku memalingkan wajah, menutup mata dan melatih indraku agar tak lagi mendengar teori hukum yang mistis dan beraoma dupa. Aku keluar kelas, mencari dan menghirup kemerdekaan. Berharap ada satu atau dua kawan yang membahas tentang pria bermata satu.

Kuikuti arah angin, sebatang rokok memperkuat langkah ini menuju tepian tepian kampus yang semakin hari makin gagap mereson persoalan sosial. Kutemui kerumunan masa, dekat pohon beringin yang mejulang ke langit, di sana sudah terbangun lingkaran yang asik. Aku coba terlibat, kebetulan ada kawanku si Seniman ulung yang getol berorganisasi.

“Jadi saudaraku, teori sastra tidak bisa hidup sendiri atau mandiri, di dunia ini sastra dengan segelumit persoalannya perlu mengambil nafas dari keilmuan yang lain, agar terselamatakan dari pemerkosaan karya sastra yang dianggungkan pemuda penikmat kopi dan senja,” katanya.

Ia melirik ku, sambil merangkum respon sesi debat kusir tentang kehidupan sastra tanah air. Kubisikan padanya.

“Tak ada tema yang lebih menarik dari pada membahas sesuatu yang sudah pasti Gotong Royong,” bisiku pelan.

“Maksudnya?” tanya kawanku

“semisal dongeng Pria bermata satu, kan itu lebih….” Belum selesai tersampaikan, dari balik dedaunan dan akar gantung yang merindukan tanah, aku melihat tatapan mata yang berbeda, tajam namun redup, mata itu mengintip malu-malu.

Kutiggalakan lingkaran, dan berlari menuju pemilik tatapan itu, dengan segera, dan aku yakin saat itu hanya aku yang meihat. Begitu sampai, pemilik tatapan itu hilang, tanpa meninggalkan jejak. Kuperiksa dengan seksama tak ada aroma dan jejak yang mau menuntunku. Tak pernah kulihat tatapan itu, bagiku asing, entah bagi yang lain, kebetulan saja ketika kuminta sesuatu pada kawan senimanku, tatapan itu mengalihkan semuanya. Maka aku butuh jawaban.

Kulanjutkan perjalanan, karena kuanggap kawanku itu bukan dermaga yang cocok untukku bercerita tentang pria bermata satu. Lama kunikmati rokok ini, dan angin mencoba memadamkannya. Kebingunganku seperti kompas yang memberikan jalan dan petunjuk agar pertanyaan ini segera berlabuh.

Sampai tak kusadari ada yang jejak langkah yang mengikuti tepat di belakangku. Langkah yang tertatih-tatih. Lengkap dengan suara menangis dan upaya untuk mengucapkan kalimat yang sama malam tadi, sontak membuatku kaget, kuputar ke seluruh arah, tak satupun pandangan ini menemukan suara itu. Aku tak menemukan satu wujud pun yang membawa suara dan langkah yang mengikuti itu.

Rasa penasaran seperti semalam kembali hadir, asap rokok dan angin yang menjelma kompas kini padam dan tak berjalan. Kehawatiran ini, menyudahi langkahku mencari dermaga tentang dongeng pria bermata satu, juga referensi tentang kalimat itu.

Dadaku seperti terbakar, keringat bercucuran, hal yang aneh dan tak pernah kualami di tengah keramaian kampus yang padat dengan dektat dan pengetahuan. Aku berlari sekencang-kencangnya, menembus segala keramaian di sana. Bersama dengan suara dan kalimat yang mercaukanku sejak malam tadi, segala keraguan dan kekesalan tumpah ruah pada kaki yang semakin mengencang.

Suara itu semakin menjadi, semakin keras terdengar di telinga. Sementara orang-orang yang lalu lalang, hanya sibuk dengan persoalan dirinya. Makin kencang kuberlari, semakin kuat suara kutipan kalimat dan sosok Pria bermata satu itu terbayang dalam ingatan, belum lagi pemilik tatapan yang menengok di tengah lingkaran.

Kujatuhkan tubuh pada tanah, dan sekepal aspal memelukku dengan hangat, kubiarkan semua mata mengarah padaku, agar aku tak merasa terbebani dengan peristiwa malam tadi,  dan yang baru saja kualami. Aku seperti medan magnet, orang-orang mengerumuniku, mereka bergumam dan membawa, serta mengangkatku agar dekat dengan langit. Dan suara yang kukenal mengantarkanku memejamkan mata.

•••••

Aku terbangun di kamar, dengan berselimut nyeri. Tak ada siapa-siapa, hanya Koran harian yang sudah menjadi langgangan ikut tergeletak di kasurku. Di dalamnya, ada satu cerpen yang menarik perhatianku.

“Pagi yang mendung membawa rasa gelisah di dadanya, pria bermata satu itu hampir tersungkur dalam perjalanan menuju pertempuran terakhir. Kalah atau menang, sudah tak berarti. Tak akan ada gelar yang di bawa, tak ada penghargaan atau upacara penyematan tanda jasa. Apa daya, bertahun-tahun segala upaya telah mencapai puncaknya.

Langkahnya tertatih, membayang melintasi kilatan kamera Jurnalis. Kenangan tentang masa perjuangan ditulis semaunya dalam pemberitaan. Lelah yang menjulang tinggi di dadanya menjadi debu di meja-meja penuh bintang.

Pria bermata satu, terpincang-pincang diselokan kekuasaan. Taring dan dan sorot matanya telah dihabis para ilmuan. Sudah tak ada artinya lagi rekam jejak gemilang, kini ia ditelanjangi jaman, jaman edan, dimana bukan kebaikan saja yang harus dilakukan berjamaah tapi kebusukan pun lebih bermakna ketika dilakukan bersama.

Pernah ia menjadi Nahkoda dalam perahu  Dewa Ruci . Berniat mempersatukan Nusantara dengan kejujuran sebagai landasannya. Demi kehidupan bersama, badai apapun dilalui. Lautan penuh siluman, satu persatu awak kapal tersungkur di lautan. Pria bermata satu, berjibaku kala itu, di tengah badai ia kerap di terkam Buaya dan kalah seketika….”

Sebelum kematiannya, ia bersumpah :

“Catatlah aku sebagai kebranian di masa yang akan datang, aku akan menjemput siapa pun yang mendengar cerita tentangku, akan ku jenguk ia dalam lingkaran berbentuk apa saja…Catatatlah aku dalam buku harian kalian dan bacalah saat menziarahi tempat peristirahatanku, bacakan doa yang bisa menghidupakan aku dan kisah-kisah di kapalku : Kalian Bungkam atau Bunuh Kami, Suara Kami Akan di Terdengar Lebih Lantang di dalam Kubur daripada di atas Bumi…” tuliskan doa itu pada nisanku dan bakarlah dupa, agar peradilan tak lagi menjadi mitos, doa itu hanya milikku, hanya punyaku Pria dengan Mata satu,”

Cerpen itu, menyembuhkanku, melegakan dahaga berbagai cerita, dan dia Pria Bermata Sati itu kini memelukku dengan hangat……






Bandung, 6 Juli 2020
(Mengenang Novel Baswedan dan KPK)


Comments

Popular posts from this blog

KEMERDEKAAN ALA ADDY GEMBEL FORGOTTEN

MENEMUI BATAS

PUISI RINDU