MENCARI PASRAH
Terik
matahari bertubi-tubi menyentuh ubun-ubun, saking panasnya hingga aku harus
meletakan kain basah diatas kepala. Matahari seolah benci dengan aktivitas di
bumi, makin hari makin tahun ia semakin menjadi-menjadi, berkolaborasi dengan debu
matahari membakar apa saja yang kiranya membuat ia kesal. Begitu pula aku,
dengan gagah berani mencoba bertarung dalam ramai dalam gelombang manusia yang
kian hari kian gila dengan dunia dan membuat jengah matahari.
Di
persimpangan Kota orang-orang terjaga, hilir mudik tanpa suara. Aku tak pernah
medengar kata-kata hanya suara sepatu yang riuh semkin hari semakin gaduh.
Persimpangan Kota adalah saksi dimana para pemuda seperti bermimpi menaklukan
matahari, lalu bersenang-senang dengan hasil dari pada itu. Persimpangan Kota
menjadi saksi dimana kalimat “Maaf” menjadi paling sering dibayangkan, bahkan
bagiku itu adalah hantu yang paling menyeramkan dari pada panasnya matahari. 
“Mohon
Maaf mas,” suaranya lirih  seorang wanita
sambil melemparkan senyum ikhlas padaku.
“Ya,
terima kasih mba, telah menolong saya,” balasku sambil mengelus dada. 
Setiap
kali kutemui dialog singkat yang membekas dari wajah-wajah muda-mudi Tanah Air
sebayaku. Aku mencoba tegar dan menyembunyikan ketakutan ini dalam setiap
perjalanan. Di persimpangan Kota semua tetap terlihat berbeda, topeng-topeng
gigih digunakan menutupi air mata dari terik matahari yang menjadikannya perih.
“Tuhan!
Jangan kau jadikan aku bangkai,” gumamku mencoba menyejukan hati yang kian
gerah. 
Sepanjang
jalan kubaca pamflet-pamflet harapan seperti rayuan Rama terhadap Shinta,
begitu mesra, aku membacanya dan hanyut dalam deras rayuan itu. Bunga-bunga
terhampar luas, lebih luas dari safana di Afrika, lebih dalam dari Samudera.
Iman ku goyah, bagaiamana tidak setiap nada dalam kalimatnya memaksaku untuk
pasrah menelanjangi diri dan siap bercumbu dengan Shinta, dimulai dari pelukan,
saling raba tanpa petunjuk arah hingga ciuman basah sudah pasti kudapatkan. 
“Mohon
Maaf mas,” aku kembali tertampar dengan suara itu, meski senyum manis selalu
mengiringinya. 
Kali
ini menggaung ditelinga, membuat tengorokanku haus, membuat dadaku tertusuk.
“Ya,
terima kasih mba, telah menolong saya,” lagi-lagi mesti kubalas dengan manja. 
“Demi
Tuhan, aku bersaksi bahwa panas matahari tak lebih terik dari kata-kata itu.
Hey Tuhan jangan kau jadikan aku bangkai.”
Aku
menggerutu tak lupa memsang urat yang menggurat dileherku, kuludahi trotoar dan
memasang wajah bengisn penuh keksalan. Aku seperti orang-orang di persimpangan
berjalan dengan dendam membara dalam dada. Aku menelurusi sudut Kota denga
hanya mengarahkan pandangan ke bawah sebab aku seperti dipecundangi matahari,
kejantananku kian hari kian habis dihisap nasib. 
Marah
yang tak terucap tak bisa kuredam, sebab suara waniata itu menggaung,
mengorek-ngorek isi telingaku. Wajar saja orang-orang tak banyak bicara ketika
saling bersenggola. Mereka dengan terpaksa harus memlihara dendam yang kian
hari kian sering di jumpai. Beitu pula dengan aku, kini kurasa bermeter-meter
rantai mengikat kesabaranku, aku terbelunggu oleh kalimat yang menjadi kunci
masa depan, aku dipaksa diam, berhari-hari, berminggu-minggu, bertahun-tahun
menunggu waktu membukakan pintunyaa untuk menerimaku menataa hari-hari yang
suah porak poranda. 
“Hey
nak, kemarilah !” suara menggema memangilku dari kejauhan.
Aku
menoleh kanan-kiri tak ada siapa-siapa hanya sepi yang terbawa. 
“Hey
nak, kemarilah !” dengan seksama suara itu berlabuh ketelingaku berkali-kali
bahkan berlipat-lipat jumlahnya. 
Aku
mencoba mengikuti angin yang membawanya, langkahku semakin cepat hingga
menderai debu dan dan panas matahari, nafasku mulai berat bercampur keringat.
Entahlah aku menjadi tergesa-gesa ingin menemui sumber suara itu. Suara itu
berasal dari susudut Kota yang gelap dan sudah bisa dipastikan jarang sekali
orang  yang menginjakan kakinya. Aku
melambat, mereyutkan dahiku, melihat dengan seksama banyak darah berceceran
disana, aroma tak sedap serta kesedihan membangkitkan kelima indra. Di tembok
tembok kutemui pamflet palsu yag sudah lusuh, terinjak dan terbakar matahari
serta topeng-topeng menggantung disetiap kabel listriik yang melilit dari satu
tiang ke tiang lain. Panas matahari tak begitu terik disini, meski debu-debu
dan kotoran sisa-sia dari tengah Kota ikut menghiasai. 
Aku
tak merasa takut, dendamku diam tanpa sebab. Ketika kusaksikan putra-putri
Tanah Air tegeletak disana-sini, dengan kemeja yang berdarah, topeng yang
retak, tas yang dihinggapi kecoak dan ciciak serta sepatu kulit yang kering.
Suaranya rintihan dan isak tangis yang tertahan terdengear lebih menyakitkan
dari kehilangan sesorang.
“kemarilah
nak, pelan-pelan duduklah bersamaku” ajak pria tua dengan dandanan rapih. 
“Aku
tahu kau cukup lelah menjalani ini, berhari disana terik matahari lebih hebat
dari biasanya, dan aku tau kau juga terbakar disana. Matamu menyimpar getir” ia
menpuk pundakku berkali-kali sambil melemparkan senyum manis dan ikhlas seperti
yang kutemui pada wajah wanita itu. 
“Kau
Kenal aku ?” tanyaku dengan gemetar 
“Ya,
tentu. Aku kenal kau nak” jawabnya sambil kembali menukarkan senyum dengan
tepukan di punddakku. 
Seketika
kugenggam erta tangannya, dan ia mulai menceritakan kegemilngan masa mudanya.
Ia dengan gagah bercerita dan mencoba menghibur aku dan ratusan Putra-putri
Tanah air yang tergeletak diantara bayang-bayang. Ia mencoba mertas kehengingan
dalam dadaku. Ia berapi-api menceritakan tentang gedung pencakar langit, emas
berlian, kendaraan yang mewah, rumah yang megah serta abdi dalem yang setia dan
patuh padanya meski harus berdarah-darah. 
Dia
seperti juru dongeng, hampir semua mata yang berlinang airmata tertuju padanya.
Kemarahan yang tak terucap kesedihan yang mengerak mendadak berhenti. Ia
bercerita bahwa pada masa nya orang-orang sepertinya sangat sulit dijumpai,
bahkan bisa dihitung oleh jari. Begitu menakjubkan karena perimpangan Kota pada
jamannya tidak seramai hari, meski sedikit orang yang berlalu lalang namun  masih terdengar kata-kata dan dialog saling
mendoakan, berbagi semangat terdenagar dari mulut ke mulut dari hati-kehati.
Sungguh ia seperti merindukan masa itu. 
Layaknya
Proklamator ia sungguh berapi-api tanpa teks dan mikrofon ia mengatakan bahwa
ia tidak pernah merasa takut dengan suara wanita itu, meski aku dan dia tau
bahwa suara yang diahantarkan wanita itu bagi manusia seperti kita adalah
moster yang menakutkan. 
“Sungguh
aku tak akan berdoa untuk menjadi bangkai,” sambil menundukan kepal mendengar
dia berkobar-kobar.
Aku
tersadar dari diam, terbangun dari dunia lamunan. Sudah tak ada pidato yang
berkobar-kobar, sudah tidak ada sosok yang tak takut dengan wanita itu. 
“Kemana
dia ? keman si tua ?” tanyaku panik pada mereka. 
Mereka
hanya menagis menjadi-jadi, tangisannnya sudah tak seperti tadi. Kini mereka
mengaung-ngaung seperti Harimau yang kehilangan anaknya. Sambil memgang dada
dan meremas tembok bangunan yang kokoh, mereka menringik seperti bayi. Aku
hanya termangugu melihat keadaan ini, mereka nseolah kehilangan panutan dan
pedoman. Melihat seperti itu aku mendadak ingin seperti Nabi yang mampu
menyejukan hati, memberikan ketenangan jiwa, menambal luka-luka dalam  hidup manusia, menyulam sesal pada ingatan.
Aku berderai melihat mereka. 
Dari
dadanya darah keluar perlahan, tanpa ada rasa sakit pada luka itu. Mereka
menangis bukan karena luka yang menganga tapi kali ini rindu yang tak
tertahankan menggurat di sanubari mereka. Termasuk aku, ya darah itu mulai
mewarnai baju kemejaku, mentes ke lantai tepat diatas bayanganku, memerahkan
sepatu kulitku yang hitam. 
“Tuhan
aku benar-benar menjadi bangkai,” kataku sambik memegangi dada. 
           Tak ada luka tak ada lubang yang
menggorong disini. Aku melangkah menuju rumah dengan perlahan dengan badan yang
membungkuk, tangan yang merayap dan hati yang lelah. Sedangkan mereka masih
meronta-ronta, hanya satu dua yang mengikutiku untuk berjuang menuju jalan
pulang. Bau amis darah mulai bercampur dengan keringat, melebihi bau busuk yang
dikeluarkan gunungan sampah. Aku terus merayap dan merangkak menuju cahaya. 
            Aku ingin pulang, rasa ini sungguh
menggebu, melebiihi rasa cintaku pada dunia, yang kian hari kian membara
membuatku resah dan terus mendesah memperjuangkan keinginan. Aku haru pulang
menjenguk setiap keadaan dan memastikan sudah tak ada lagi yang tertinggal.
Meski di dadaku tertancap pamflet-pamflet liar, meski dikepalaku kawat berduri
melingkar, kiranya rindu yang terus saja menggebu ini meredakan segalanya. 
            
Matahari menemaniku berjalan pulang bersama kawan-kawan seperjuangan.
Kini ia ramah tak terlalu terik meski tetap berdiri diatas kepalaku. Perpisahan
adalah hal yang tak pernah lepas dari pertemuan, begitu juga dengan aku dan
kawan-kawan setiap persimpangan dan lampu taman menjadi saksi masing-masing
mesti menjemput diri dan sesuatu yang tertinggal di rumah. Kali ini muda-mudi
Tanah air dengan pakaian rapih seperti pejuang yang kalah di medan perang,
penuh darah dan airmata terluka hanya karena kata “Maaf”.
             Aku sampai di depan rumah, pagar
yang penuh debu, tanaman yang kering sudah lama tak kusentuh. Atap rumah yang
hampir rubuh dan warna tembok yang selalu mengingatkan ku akan masa kecil
terharu melihat keadaanku. Baanku gemetar menahan airmata, mengigil menahan
malu. Wajahku jatuh, berat untuk menanggah keatas. Apalagi harus bertemu dengan
sosok mulia yang kupanggil Ibu. 
“Maaf,
Bu” kataku sambil gemetar, karena aku tak menyangka kalimat yang sering membuat
aku dan pemuda Tanah Air lainnya ketakutan kini harus terucap dari bibirku
sendiri. 
            
Ibu hanya tersipu dan membuka kedua lengannya untuk menyambutku, dengan
kerudung hitam yang berkialauan serta daster hijau yang menyejukan. Aku jatu
dipelukannya, tak perlu kuceritakan keluh kesahku, semua sudah tergambar
ketika  airmata yang sempat terbendung di
mataku mulai tumpah seperti air terjun. Ibu sudah paham, dan hanya menepuk
punggungku. Semuanya sudah lunas teruraikan tanpa ada makna yang terendat dan
disembunyikan. 
“Sudahlah
nak, lelaki tua yang kau temui sudah menyampaikan semua,” ucap ibu sambil
mencabut sesuatu yang menusuk dadaku lalau ia menyimpan duri yang melingkar di
kepalaku. Aku  terlentang di kasur tua,
tempat dimana aku di besarkan, rentetan pertanyaan berbaris rapih di keningku
tentang dongen yang disampaikan lelaki tua yang kutemui di sudut-sudut kota.
Bayang-bayangnya kujamahi, setiap ceritanya kurangkai dan seketika ingin
kujumpai para pemuda Tanah Air yang sempat tertidur pulas di sudut Kota. semua
begitu singkat dan bermakna tapi aku masih belum bisa menemukan jawaban dari
teka-teki itu, hingga wangi teh hangat mebuyarkan semua. Sebuah sajian dari ibu
yang merdakan hujan pertanyaan di kepalaku. 
“Ibu,
apa kau mengenal lelaki tua itu ? mengapamia tau alamat rumahku ?” tanyaku
sambil meneguk perlahan sajian sore dari ibu. 
“ia
adalah dendam masa lalu, ia adalah sosok yang selalu menghantui siapa saja
ketika getir dan lelah menghantui tubuh-tubuh yang rapuh, dan Ibu pernah berjumpa
dengannya dulu. Semenjak kaub tumbuh dewasa, ia jarang kutemui bahan ia jarang
datang lagi, entah apa yang terjadi padanya. Hingga ia menemuiku tadi siang.”
Jawab ibu dengan singkat sambil menyentuh keningku sambil membiarkanku kembali
terlentang. 
              Pagi mencabut tidur lelapku, teh
buatan ibu sudah dinggin ha,pir sama dengan embun yang hinggap di jendela
kamarku. Burung-burung bernyanyi tanpa sosok yang terlihat, serta embun yang
hinggap di dedaunan harus berdamai dengan debu yang mendarat ditubuhnya. Begitu
pula dengan aku yang harus kemabali bertarung dengan terik matahari, kembali
harus mendengar gemuruh sepatu orang-orang yang membisu di persimpangan atau di
pusat perkotaan. Matahari kembali membakar ubun-ubun, handuk hitam dan basah
menutpi kepala-kepala yang lalu lalang. Di persimpangan tak terlalu ramai.
Kendaraan lalau lalang seperti biasa, masih terdengar suara nafas lelah serta
gumam-gumam yang hampir memadati telinga. 
 Aku menengadah pada langit, berharp hujan
datang atau hanya sekedar ingin menjumpai kesejukan yang hampir tak pernah
kutemui ketikia pagi. Mataku terpejam dan angin dengan ramah menyapaku sambil
mengantarkan suara lelaki tua itu lagi.
“Bertasbihlah
nak, dan ikuti kata hatimu.” Rintih suaranya namun menyadarkanku, seolah
memberikan sesuatu yang akan kujumpai nanti. Ya, dia memberikanku peta yang
lusuh, tak ada harta karun disana, hanya jalan panjang yang penuh dengan restu.
Teka-teki
ini kurangkai, sambil mengerutkan kening aku melangkah mengikuti peta itu, meski
terik dan hiruk-pikuk kerap kali menghujanji sungguh perjalan ini amatlah
berarti. Pamflet-pamflet lusuh disepanjang tembok dan lampu kota tak lagi
kulirik, kata “Maaf” yang menakutkan sudah bukan lagi menjadi ancaman. 
Aku
mengikuti kata hati, tertunduk mengikuti peta yang menuntunku untuk segera
kesana, dimana hanya ada tanda silang tanpa ada gambar dan nama tempat. Aku
begitu berhasrat mengebu seperti seekor kuda yang siap dipaju. Adrenalinku
memacu, aspal yang kering udara yang tak ramah, keringat yang mengalir tak lagi
terasa. Kali ini aku benar-benar pasrah, menyusuri setiap tanda-tanya, menjawab
semua gelisar serta getir yang kerap kali hinggap. 
Para
pemuda Tanah Air yang terluka dadanya hanya memandangiku, yang sambil
senyum-senyum kecil menikmati perjalanan ini, meski pakaianku lusuh dan waktu
yang kian karatan. Aku hanya memanjatkan puji-pujian serta memumnguti setiap
restu yang berceceran di jalanan. 
“Aku
rindu ini, bahkan akan merindukan ini, aku pulang Ibu.”

Comments
Post a Comment