TERSESAT BERKAMPANYE DI MEDIA SOSIAL !



Kita tahu, sejak 2014 perebutan kursi R-1 menjadi sebuah arena tinju tokoh politilk nasional. Diakui atau tidak kita melihat api permusuhan mulai merambat pada simpatisan dari tingkat nasional, regional hingga lokal. Partai politik sebagai promotor tidak hanya menggunakan sistem yang berlaku di negara untuk melegalkan kompetisi ini, pun membentuk jutaan opini dari penonton tak kasat mata bernama Netizen melalui kanal promosi bisnis yang paling sederhana bernama media sosial.

Sejak saat itu rimba media sosial memasuki babak baru ketika di hadapkan dengan kabut hitam bernama Pilpres 2019. Media sosial menjadi map atau petunjuk arah yang menyesatkan bukan menjadi pembimbing jalan pulang. Atas nama pesta rakyat para promotor pertandingan berusaha merubah tepuk tangan menjadi ajang gontok-gontokan. Ini jelas jauh dari asaz demokrasi. Bahkan yang lebih mengherankan lagi elit politik saat ini lebih senang bermain dengan isu-isu yang menuai konflik lalu di nyanyikan di media sosial.

Pasalnya tudingan-tundingan yang dicuitkan bukan hanya diproyeksikan untuk lawan semata, namun peluru ini juga dipaksakan, diwajibkan bahkan harus di amini oleh para pengikutnya dari berbagai kalangan. Tak heran pertandingan bukan hanya di atas ring saja, melainkan bisa terjadi di rumah-rumah, warung kopi, instansi pendidikan, perkantoran, ruang diskusi dan samai ke lahan bertani. Sedikit banyak tawuran di media sosial berujung pada kasus hukum, aksi saling balas-balasan cuitan akan berujung pada pertemuan mereka dengan algojo negara bernama UU ITE.

Belum lama ini elite politik kita terlibat baku hantam di media sosial Twitter. Selasa, 25 September 2018, PSI resmi melaporkan kader Partai Gerindra, Fadli Zon, ke polisi. Kiranya ketika saya menulis nama Fadli Zon tentu anda sudah tahu kontroversi apa yang selalu ia picu. Kaki tangan Parbowo ini sempat mengunggah video Goyang Bebek Angsa yang diberi judul Ternyata Mereka PKI. Yang dibuat gaduh adalah ujaran yang di lemparlkan pria berkacamata ini sangat negatif dan bisa di pastikan benar hanya fitnah belaka.

Mencatut nama Partai Komunis Indonesia di negeri ini sungguh akan membangunkan rasa takut dan trauma berkepanjangan di kalangan masyarakat. Fadli Zon melemparkan bola api ini untuk menyerang lawan politiknya. Tak pelak bel pertandingan antara Fadli Zon melawan Raja Juli Antoni pun dimulai. Babak demi babak di warnai baku hantam kata-kata, belum saling tuduh dan bertukar fitnah, hingga di ronde terakhir sebuah fenomena klise saling lapor ke polisi menjadi jalan yang ditempuh.

Entah menjadi sebuah hobi atau hanya meluangkan waktu dari setumpuk undang-undang yang sukar di selesaikan di gedung MPR. Kedua elite politik ini berhasil memberikan tontonan yang tidak edukatif, terkecuali para simpatisan dan kader dari kedua partai yang sudah dipastikan juga menggelar pertandingan pada skala yang lebih kecil. Hasilnya pendidikan politik di era Pilpres 2019 tidak pernah terwujud.

Belum lagi manuver aktivis Ratna Sarumpaet yang ikut menebar isu hoax dengan megemborkan foto dan video wajahnya yang rusak akibat oprasi dengan dalih habis digebuki orang tak di kenal di Bandara Husein Sastranegara Kota Bandung. layaknya selebritis Ratna mengedam virus latah dari Yong Lex yang sempat berpura-pura di habisi penggemar K-pop garis keras. Selain mengklaim sebagai seorang aktivis Ratna juga menyandang status sebagai juru kampanye Naional Prabowo-Sandi. Sudah pasti ia akan mendapatkan jaminan nomer wahid dari pasangan tersebut.

Terbukti, hanya berselang beberapa jam pasangan ini mengumumkan konfrensi pers terkait pristiwa ini. Seluruh elemen dari pengusung pasangan tersebut menyuarakan kekesalannya atas kasus tersebut. Hasilnya pertandingan tinju di media sosial semakin masif di gelar. Mulai dari kepala hingga buntut amunisi sudah siap di lemparkan, namun sayang sebelum bel berbunyi Ratna Sarumpaet yang kini di beri gelar Ratu Hoax harus bertekuk lutut di hadapan Algojo. Al hasil, Tsunami mulai dilancarkan kubu sebrang, dengan niat menjatuhkan Elektabilitas kubu mantan Jendral Kopassus ini dan akhir dari episode ini ialah, “ini adalah langkah awal kemenangan Pak Jokowi”, kata Ruhut Sitompul.

Ini sebuah era dimana politisi tidak lagi memiliki kekuatan nalar dan intelektual dalam merekontruksi pendidikan politik. Kini penyebaran berita palsu atau hoax sudah dijadikan strategi antar Partai Politik (Parpol) untuk saling menjatuhkan menjelang Pilpres 2019. Faktor yang mempengaruhi munculnya hoax yaitu antara lain adalah semakin terbukanya demokrasi,selain itu, berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, serta adanya pasar untuk saling menjatuhkan antar Parpol.

Sesungguhnya hal ini bertolak belakang dengan apa yang harus dilakukan Parpol melalui pimpinannya. Himbauan hanya menjadi cek kosong yang membuat perut sering kali berdendang. Sialnya Hoax sudah membuat kita tidak lagi menjadi manusia terhadap manusia lain yang pilihannya beda. Rekontruksi pendidikan politik mesti menjadi PR bagi para politisi terlebih tim sukses kedua pasangan, melihat kasus di atas, penyebaran hoax yang menjadi viral seolah menapatkan legitimasi dari elite politik.

Jika ini terus dibiarkan saya kira pendidikan politik untuk meningkatkan partisipatoris pemilih hanya akan menjadi debu di bawah tapal kuda. Perangkat, penyalur pendidikan politik perlu menjawab tangtangan zaman, dimana media sosial sudah menemukan posisinya sebagai pita suara. Hal ini bisa di rekontruksi kembali ketika masing-masing instrumen kedua calon bisa memahami subtansi dari posisis mereka, misalkan makna timses, makna dari kampanye sehat, makna dari bijak bersosial media. Ketiga gagasan ini perlu dipertanggung jawabkan oleh seluruh jajaran instrumen kedua pasangan calon.

Digitalisasi alat peraga kampanye sebaiknya menjadi sebuah alternatif dari praktek kampanye langsung, bukan malah sebaliknya membuat era digital menjadi ajang tinju dari hulu ke hilir. Pengaplikasian UU ITE sebagai algojo harus benar-benar mengedepankan asaz demokrasi yang menjungjung asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sejatinya prinsip ini harus menjadi pijakan kuat dalam membangun sistem demokrasi dan memberikan fasilitas kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang memiliki hak pilih pada suasana yang kondusif melalui kampanye sehat dan damai.

Comments

Popular posts from this blog

KEMERDEKAAN ALA ADDY GEMBEL FORGOTTEN

MENEMUI BATAS

PUISI RINDU