Dongeng Mengenang Kesatria Macan Kumbang
Sebelum sinar matahari
hanya menyinari sebelah kehidupannya, ia adalah lelaki yang tak pernah berhenti
untuk memburu. Hutan yang penuh dengan kabut dan gelap didalamnya adalah salah
satu medan yang ia gemari, baginya itu adalah wahana permainan. Tak ada yang
meragukan keberaniannya, nyali yang tak perlu diragukan lagi, seperti Kakek
Bisma yang menjaga Hastinapura dengan segala daya upaya. Dia adalah Boba Fett
yang ditakuti lawan-lawannya, dari hutan mana, planet mana, lembaga apa, dia
adalah Malaikat Maut Bagi yang selalu berbisik dan berencana di balik
hutan-hutan Nusantara.
Sumpah setia telah
tersimpan di dalam dompet, seragam yang kerap digunakan adalah kebanggan yang
hampir menyatu dengan kulit. Matahari dengan kekuatan cahayanya selalu menjadi
lampu sorot bagiamana ia menangkap makhluk-makhluk buas di sana. Orang-orang
kerap mengenalnya sebagai Kesatria Macan Kumbang, hutan yang dihuni setan
sekalipun sepi penghuni ketika dia datang, dia adalah penegak, penentu dan
pengamanan bagi mereka yang selalu pasrah pada kebisaan pungli dan jadi korban
tawar menawar kebijakan.
Sungguh Pahlawan yang
diidolakan sejak Negara setengah mati mempertahankan makna ….
Kesatria macan kumbang, kerap membawa tongkat sakti dan
kunci. Digengagamnya tongkat sakti dimanapun ia tugas, tongkat multifungsi dan selalu
membuat lawannya takut. Di tengah hutan yang gelap dan penuh kabut, tongkat itu
menyerap cahaya matahari dan kekuatan itu menjadi penerang bukan hanya untuk
hutan namun juga kehidupannya. Sementara kunci berkilauan emas itu, selalu tergantung
di lehernya. Kunci itu selalu menjadi tanda menyerah dari lawan-lawannya, yang
harus menghabiskan hari di kamar-kamar sunyi menjelajahi waktu dan memngurai
kata “menyesal”.
Dulu, tatapan matanya
selalu menjadi radar, selalu menjadi drone tanpa awak yang berhasil mengurai
gelapnya gua dan likatnya kabut di belantara. Tak ada yang lepas dari pantauannya,
bahkan menurut legenda, penglihatannya mampu mengunci niat buruk seseorang.
Tapi itu dulu, kegagahannya kini tinggal menyisakan ketakutan bagi siapapun
yang ingin mengikuti jejaknya. Kesatria macan kumbang kini lumpuh, gelar macan
yang tak ragu meraung itu kini tertidur pulas dan tak tahu kapan akan
terbangun, bersama keberanian sang ksatria, mereka berdua kini terbenam dalam
doa panjang dan dukungan yang mengembun dikepalan tangan juga suara-suara
tuntutan di jalan.
Saat itu juga, jagat
maya dan televisi berubah fungsi menjadi rumah duka, ucapan dan doa-doa menghiasi
beranda orang-orang yang bersimpati padanya. Di dunia nyata, hakim dan jaksa
mencoba membela meski mereka menggunakan topeng dan selalu terdengar cekikikan
lega atas nasib yang menimpa si ksatria. Lalu di mana Negara dan lembaga yang
dibelanya ? katanya, hingga hari ini keduanya sedang berusaha menanyai
sarjana-sarjana hukum di Universitas ternama untuk mengurai kebebalan ini.
Lalu apa yang terjadi
padanya ?
Menurut cerita yang tersebar, kesatria macan kumbang itu kalah
oleh Siluman Buaya yang asing dan tak tahu dari sungai mana. Katanya, siluman
buaya itu begitu lincah. Di darat ia bisa melompat-lompat dan mengaung seperti
harimau, di air ia bisa berenang lebih cepat dari kapal selam buatan Jerman.
Buaya yang memiliki banyak keahlian, menguasai berbagai sungai dan daratan,
persoalan apapun akan selesai dengan sekali bergerak. Buaya yang kebal dan tak
pernah tercatat dan tersorot kamera Planet Animal.
Saat itu, kesatria
macan kumbang mendapat tugas untuk mengawal
sebuah lembaga anti rasuah yang sedang menghadapi Lembaga para siluman.
Lembaga tersebut, di bawah kekuasaan siluman buaya. Bertahun-tahun lembaga siluman
kerap menjalankan praktek ilmu hitam yang mempengaruhi masyarakat, Petugas
Untuk Negara (PUN), dan para pejabat yang tak lepas dari sifat korup. Tugas
yang sudah menjadi kontrak hidupnya, kesatria macan kumbang dengan sigap
mengawal lembaga anti rasuah untuk menyelesaikan apa yang selalu ditimbulkan
oleh Siluman Buaya.
Bertahun-tahun, setiap
gerak-gerik siluman buaya selalu diawasi, berbagai program terus dipantau dan
sebagaian berhasil diluuti, meski siluman buaya berhasil saja melarikan diri.
Waktu itu, kolaborasi
antara kesatria dan lembaga anti rasuah cukup mempuni, dan membuat siluman
buaya kocar-kacir. Siluman tikus yang menjadi anak buah siluman buaya hampir
dipastikan memenuhi ruang-ruang pesakitan milik kesatria macan kumbang. Satu persatu
media televisi dan pemberitaan mengungkap misteri di negeri siluman dan
bagaimana pergerakan pimpinannya. Jagat maya pun sama, binis yang dimiliki
siluman buaya menjadi bahan olok-olok dan meme yang mengocok perut bila dibaca.
Sungguh prestasi yang tak pernah terfikirkan semenjak nenek moyang dilengserkan
12 Jendral.
“Kalau begini terus, rugi sudah apa yang sudah
dibangun sejak leluhur kita dulu,”
“meski leluhur kita
sudah ditidurkan, ajarannya harus tetap hidup dan dijalankan, bahkan
disebarluaskan,”
“mereka harus segera
diberhentikan, suka atau tidak suka, beresiko atau tidak. Sampai ajaran leluhur
kita kembali hidup seperti polutan dan dihirup masyarakat luas,”
Tanpa menunggu
perintah, anak buah siluman buaya bergerak, para tikus-tikus merencanakan
sesuatu. Sebuah rencana yang akan menjadi kutukan sepanjang Republik ini
berdiri.
***********
Subuh yang hening,
lampu-lampu kota tetap terjaga menyaksiakan angin mememperkuat rasa kantuk ke
dalam selimut. Mata-mata yang terbiasa terbangun pada subuh hari, saat itu
tiba-tiba terkunci, hanya kesatria macan kumbang dan beberapa orang saja yang
masih duduk memanjatkan sesembahan dalam upaya memohon perlindungan.
Dalam kekhusuannya, ada
yang bergerak dalam gelap. Mata sang kesatria berdenyit, memberikan sinyal tak
baik. Seketika ia beranjak dari proses memanjatkan doa, keluar untuk memeriksa
keadaan. Baru lima langkah dari tempat ibadah, sang kesatria dikagetkan dengan
serangan mendadak. Dua ekor curut suruhan, melemparkan cairan tepat di mukanya,
sang kesatria mengerang kesakitan. Teriakan yang memecahkan keheningan subuh,
membuat lampu kota semakin terjaga menyaksikan peristiwa itu, angin menjelma mata
pisau, setiap tetes cairan yang disentuh menyebabkan rasa sakit yang tak perlu
diuji kebenarannya.
Semuanya berkerumun, dan
dua curut menyelinap dalam gelap, tertawa cekikikan sebab sebentar lagi akan
kaya dibayar oleh siluman Buaya.
Sementara yang menyaksiakan
hanya kaku, hanya terbata-bata, tak ada yang berani menyentuh kesatria macan
kumbang waktu itu. Dia menutupi wajahnya, berguling seperti kucing dia atas
pasir bercampur aspal. Rintih yang terdengar seperti menyubit kulit. Bahkan ada
yang mengatakan teriakan kesatrian macan kumbang membangunkan kesadaran yang
terkunci, membongkar paksa mata yang masih tertidur lelap. Setiap telinga
mendengar, setiap air mata mengalir, mata kamera siaga kala itu dan siap
bersaksi, namun mata-mata yang lain di kemudian hari tiba-tiba buta dan katarak
!
Persitiwa yang menambah
kelam potret kemanusian Negara, di sini kebanggaan sebagai warga Negara yang
baik yaitu siapa saja yang siap memakan daging lawan atau bakal lawannya.
Fajar yang bergelayut
pagi itu tak menumbuhkan semangat, seperti langit mendung yang mengilhami penyair
untuk selalu galau dengan kerinduaan dalam tetesan hujan. Pagi itu setiap jiwa
tersadarkan, para voulunteer kesadaran tercengang, aktivis jalanan mengenakan
pita hitam dan kepalanya kembali tertunduk, mereka harus kembali menyiapkan
kepalan tangan dan memanaskan pita suara untuk bersaksi kembali di bawah payung
hitam di depan istana kepresidanan. Seperti malaikat pencabut nyawa, kabar
terkaparnya kesatria macan kumbang adalah dentang loceng kematian bagi
masyarakat kecil di Kampung dan Kota. Mereka seperti tersambar gledek, idola,
harapan, senjata dan sandarannya harus kehilangan tajinya di medan laga.
Kesatria macan kumbang
dikabarkan cacat mata kirinya, mata yang menjadi radar, mata yang membekukan
niat buruk, mata yang menghidupi harapan, kini tak mungkin bekerja. Super hero
dunia nyata itu harus bersahabat dengan waktu, bercegkrma dengan doa, menjalani
hari-harinya dengan kenangan dan energi yang tersisa.
Kepanikan terjadi di
sana-sini, lembaga anti rasuah yang mempekerjakannya harus meyakini bahwa
selama ini, Negara siluman pimpinan siluman buaya mencoba melumuhkannya
pelan-pelan. Duka, stress, panik dan gamang menyertai mereka. Lembaga ini mesti
menjalani hari-harinya dengan pondasi yang retak dan mudah di robohkan. Lalu
bagaiamana Negara ? katanya, saat itu Negara juga panik , kutukan juga kejaman
menjadi narasi pelengkap media televisi, tapi pada kenyatanya, Negara adalah
mesin sandiwara raksasa yang siap memproduksi topeng bagi para abdi yang
menjalankannya.
Sementara di
hutan-hutan Kota dan Lembaga Siluman, pesta pora sedang berlangsung. Siluman
buaya mengundang para politisi kesohor, para pendekar silat lidah ini membawa
sanak saudara untuk mengukuhkan kembali ajaran leluhur. Tak lupa, dia
mengundang pihak keamanan Negara agar ikut larut dalam pesta keberhasilan dan
membiarkan mereka mengkerdilkan bintang dipundaknya juga mengganti senjatnya
dengan pisang dan pistol air. Undangan juga mendarat di meja-meja para cukong
dan mafia industri, bagi tamu undangan satu ini, pesta tersebut merupakan salah
satu tanda bahwa perpanjangan kontrak penggusuran dan penggundulan hutan akan
diperpanjang, mungkin sepaket dengan uji coba limbah di sungai-sungai. Tak lupa
kolega dari anak buahnya siluman tikus, para curut yang biasanya berbau busuk
dan kotor, malam itu berpenampilan cukup menarik dan menawan mereka berkelompok
dan ada di macam-macam lembaga, organisasi, ormas dan ritual keagamaan.
Yang lebih menarik pada
pesta itu adalah penampilan Siluman Buaya, ia menggunakan kostum macan kumbang,
sungguh serasi dengan keberhasilannya. Pakaian itu, katanya, dibuat sebelum
tugas anak buahnya dilaksanakan dan berhasil, memang dipersiapkan untuk pesta
perayaan.
“Mulai saat ini, kostum
ini adalah aku, dan kalian masih boleh memanggilku siluman Buaya,” katanya di
atas meja sekaligus menandakan pesat itu di mulai.
Malam itu bukan hanya
perayaan pesat semata, malam itu merupakan salah satu syarat dan tanda bahwa
kebangkitan ajaran lelehurnya kembali dihidupkan. Semuanya menyambut baik kabar
ini, maka diantara gemerlap lampu, licinnya lantai dansa, juga jatuhnya moral
abdi Negara, hak hidup orang banyak
serta kebenaran yang berlaku akan menjadi dongeng dan cerpen anak-anak di
Koran-koran akhir pekan.
Tidak sampai disitu,
para penghungi dan anggota baru Lembaga Siluman tak dibiarkan larut dalam
rayuan alkohol juga Narkotik lainnya. Siluman Buaya sebagai tuan rumah
membatasinya. Hal ini dilakukan karena setelah pesta berlangsung masih ada yang
harus dikerjakan untuk memenuhi syarat-syarat sempurnanya ajaran leleuhur
mereka.
Malam itu, Belantara
semakin busuk dengan wacana menjijikan dari para penghuninya hutan itu menjadi lebih gelap dari rencana
kudeta CIA dipunggung Harto !
Dan rencana selanjutnya
dimulai…..
************
Negara semakin gaduh,
lumpuhnya kesatria macan kumbang menjadi salah satu simbol dan tanda bahwa
keseimbangan telah berat sebelah, dan itu benar terjadi. Hukum yang
berabad-abad tajam ke bawah, kini semakin menghujam dada yang merangkak di
tanah, keadilan hanya narasi juga ilusi bagi akademisi dan filusuf yang ingin
menularkan ideologi impiannya dalam buku yang dijajakan diperpustakaan dan
lapak aktivis jalanan, tak ada tanah adat semuanya sudah di ruwat jadi tak
berpenghuni, rasa lapar memaksa orang-orang kalah menjadi sufi yang harus
menahan setiap rasa mejadi jalan spiritual, dan anak-anak yang putus sekolah
harus menjadi gank bayaran agar bisa melampiaskan dendam pada si Kaya yang
merebut kursi sekolah milik mereka.
Paska kesatria macan
kumbang lemah, kejadian seperti itu terus terulang seperti sudah tersusun
rapih dalam kitab Cendana.
Menurut pemberitaan
akhir tahun 2019, pasukan siluman Buaya mulai bergriliya menyebarkan virus
rencana kedua. Kroni-kroni, delegasi, simpatisan dan mitra lembaga siluman
mulai merumuskan undang-undang untuk melemahkan lembaga anti rasuah yang
memperkerjakan kesatria macan kumbang. Lagi-lagi peristiwa kelam mesti terjadi,
di bulan tanpa mendung, untuk sekilan kali masyarakat mesti turun menentukan
nasibnya sendiri. Mahasiswa dengan seragam kebanggaan, menjelma pasukan semut
hitam yang bergerak di setiap kota. Jagat maya padat dengan rencana, pesan
daring sesak dengan konsolidasi dan titik-titik berkumpul adalah mimbar doa
para kesatria tanpa baju zirah berangkat ke medan laga.
Kesatria macan kumbang
hanya duduk terdiam, melihat pemberitaan yang bertubi-tubi menyayat kalbunya.
Badannya yang tegap, matanya yang tajam hanya jatuh dan rubuh pada penyesalan.
Hari itu, keadilan dan semangat juang pelan-pelan melarikan diri. Mereka
mengendap-ngedap, menyelinap pada tubuh-tubuh yang masih tangguh dan mampu
mendefinisikan setiap nafas yang tersedak di jalanan. Kesatria macan kumbang
terkulai, kejantanannya telah terhisap habis, ruh-ruh perujuangan telah pudar
serupa doa yang terucap lalu menghilang.
Tahun itu, Negara telah
mempersiapkan pemakaman paling besar dalam sejarah umat manusia. Kebenaran, dan
pahlawan tanpa nama akan diikutsertakan di dalamnya. Doa-doa hanya diucapakan
oleh para martir yang berperang tanpa baju zirah. Mereka adalah pasukan
kesatria macam kumbang.
Tahun itu pula, siluman
buaya telah berhasil membangun kembali ajaran leluhurnya, sudah pasti semua
berbangga hati. Bahkan, sebelum pemakaman terbesar dimulai, para kroni telah
merencanakan agar kolega mereka menghidupakan lembaga anti rasuah versi mereka.
Sebuah petaka yang tak pernah tercatat dalam naskah Mpu Tantular seklaipun.
Bertahun-tahun dongeng
kesatria macan kumbang hidup dan bersemayam dalam nurani yang masih sering
dikunjungi kesadaran. Selama itu ajaran lelehuru siluman buaya menjajaki zaman
baru. Ada yang beduka, ada yang tertawa, dua musim yang selalu beradu.
Dongeng ini telah
melewati dan menajajaki ratusan fase, kesatria macan kumbang telah mengukir
perjalanannya, sebuah jurnal yang telah melewati berbagai lubang dan narasi
fiktif ala Negara. Matanya telah bersaksi dalam banyak tragedi, sampai kini
hanya merekam kegagapan hakim di ruang sidang. Dongeng ini telah menghidupkan
duka cita yang paling dalam, meski setiap kekalahan tak layak dirayakan dengan
tangisan. Cerita yang tak pernah kering meski diulang meggunakan mesin waktu,
dan akan semakin hidup ketika kita datang menzirahi setiap kematian tanpa nisan
dan doa yang membasahinya.
Bandung, 27 Juni 2020
(Mengenang Perjuangan
Novel Baswedan dan Tragedi Pelemahan KPK)

Comments
Post a Comment