Tiga Pesan Itu...


Pesan pertama kuterima, tepat pukul 23.00 WIB. Saat itu gelisah sudah pulang dan kini yang menemani hanya rasa khawatir dan tegang. Tak ada pesan susulan, seolah semuanya kalah. Begitu juga pesan dari sang kekasih, harus kembali berjarak, melipat segala rencana dan kerinduan di dalamnya. Ada kalanya sebuah pesan membuatku takut, dan ragu. Tapi apa daya, tak bisa 
dinegosiasikan lagi. Aku harus kembali.

“Kerjakan !”

Rentetan buku di atas lemari menjadi saksi, ratusan kertas terlentang pasrah, siap kugauli. Jari-jariku gemetar, pikiranku kemelut, yang kubutuhakan adalah satu terobosan. Sebuah pengulangan yang teramat mahal harganya, sulit ditemukan, diburu bahkan ditiru. Dalam sepinya pikir dan lambatnya waktu. Aku diselimuti rasa takut.

Pesan itu, perintah itu, hanya kenyang dengan keberhasilan. Ia tak membutuhkan balasan atau tawar menawar. Begitu terjajahnya aku, padanya aku bersimpuh, lumpuh dan tak berdaya.

Berjam-jam di dalam pikiranku telah hidup sosok yang mengerikan. Liar, tak terkendali, di sana adalah hutan miliknya, hukum dan aturan dia yang punya. Aku telah terkuasai, dia berlari tak tentu arah, lebih cepat dari pembulu darah.  Rombongan suku kata menjelma sperma, mencari sel telur dalam tinta dan kemudian menjadi kalimat. Satu persatu, ide dan gagasan tumpah di atas payudara ratusan kertas yang terlentang tak berdaya.

Kertas yang lelah menjerit dan kehabisan tenaga itu kuperkosa berkali-kali. Ia berantakan, penuh dengan tumpahan ide. Kertas itu kini mengandung gagasan “Miliyaran”, ia akan akan diperjualbelikan di pasar bebas, pasar yang penuh dengan kegelapan, konsumen hitam, dan pelayan tanpa identitas. Di sana, tak sedikit yang kecewa akan barang belian akan tidur di tanah tanpa ada doa yang menziarahinya.

Sebelum adzan subuh berkumandang, perintah itu telah kubalas. Sebuah ransum yang siap disajikan, penuh dengan rasa takut, gelisah dan hasrat hewani di dalamnya.

“Selesai Bos, mohon revisi !”. 

Tak ada balasan, hanya dua simbol centang berwana biru yang menisyaratkan sajian diterima dan siap diolah ke kantung-kantung pembeli.

Adzan subuh berkumandang, kubuka jendela dan celah yang ada, mempersilahkan udara menyentuh apa yang dia ingin, membiarkan malaikat menyulam tugasnya. Lalu kusajikan sepiring doa untuk diantarkan pada Gudang-Nya.

Kunikmati udara subuh yang menyandarkan keheningan di bahuku. Sebuah karpet hitam menutupi jalan, tanda tugasku sudah di mulai, bekerja dalam diam, bersembunyi dalam bayang-bayang dan 
memastikan cahaya menyentuh segalanya.

*******

Pesan kedua kuterima pukul 10.00 pagi WIB. Sebuah catatan yang habis dibrodong peluru revisi. Tak ada perintah khusus yang menyertainya, hanya kalimat yang lagi-lagi mempermalukan kemampuanku, gelar sarjana dan kejantananku. Aku babak belur, tersungkur. Ronde kedua harus ku mulai dengan menyembuhkan luka sebelumnya, mengisi tenaga untuk meghidupkan kembali makhluk liar di pikiranku. Sebuah jalan yang harus kutempuh, tanpa suara.

Kali ini, rentetan buku kuajak agar bisa terlibat. Tugasnya sebagai penonton kuserahkan pada dingding dan atap kamarku. Sebagai juri, suara jam dingding kembali kupercayai. Mereka semua adalah saksi mata dan notulen saat sisi kebinatanganku kembali memaksa setiap kertas agar dengan sukarela membiarkan rahimnya terisi penuh oleh ide dan gagasanku.

Kembali aku akan berdansa degan jerit tangis kertas putih yang menyerahkan kesuciannya, merebut kehormatannya dan kemudian tunduk oleh penaku.

“Revisi, baca dan cermati !”

Perintah yang sama sekali tak mengugah selera jari dan bibirku untuk membalasnya. Perintah yang membuatku membeku, tak ada tenaga untuk menampiknya, sekali lagi pesan ini hanya ingin sarapan dengan keberhasilan.

Semua yang terlibat, begitu siap, menunggu aba-aba dan gerakanku menjamahi kertas-kertas yang sudah telanjang bulat. Tuhan, aku tak memiliki hasrat, namun keadaan ini membuatku terjerat.

Satu-persatu hasil revisi kucermati, seperti tim forensik memeriksa mayat, mencoba memastikan apa sebab dan kesalahannya. Garis, titik, tanda kurung dan sinonim begitu tebal seperti luka lebab, lengkap sudah penderitaannya, paket yang dikembalikan ini akhirnya tewas tersungkur bersama anak yang tak diinginkannya, ide dan gagasanku.

Buku dengan tema Sejarah, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya silih bergantian mengisi pikiranku, mereka dengan semangat menghiasai lamunan, tujuannya hanya satu menemukan sesuatu yang mutahir, terbarukan dan sulit ditiru. Sebuah sajian yang akan mengundang pembeli harus dibumbui mimpi yang sudah kalah bertubi-tubi.

Renyahnya pembahasan dalam buku, membuatku hanyut. Tak kusangka kenikmatan membaca buku itu terlalu gampang dicerna, dan mudah dimanfaatkan mahluk dipikiranku. Dengan cepat monster menakutkan itu bangun. Terlalu dini menghidupkannya, tapi apa guna, aku terikat tak berdaya. Suara menggeram dan rincitan kukunya, memecahkan segala teori juga peristiwa  dalam buku-buku itu.
Dingding dan atap kamarku bersorak ria menyambut kedatangannya, aku lemah dan tak bisa melawan,  ritual yang harus kembali dijalani serta syarat mengakhir sebuah panggilan.

“apakah ini patut disyukuri ?” sekilas kau bertanya dalam hati.

Untuk kesekian kali, aku terjebak di rimba miliknya, hutan kekuasaanya gelap dan berkabut. Setelah kupasrahkan diri berdiam di ruang tak bergeming itu, sudah kupastiakan hasrat kebinatangan menguasaiku. Aku tak memulai tapi Tuhan yang berkehendak.

Benar saja, mahluk busuk ini berlari lebih cepat dari sebelumnya, mengarungi pembulu darah, 
mempercepat detak jantung, menghidupkan nadi di setiap sendi. Secara bersamaan ada kenikmatan yang diberikan, memuncak, sensasi yang diberikan itu seperti tak mengenal aturan.

Gerak dari jarum jam adalah peluit tanda di mulai. Kubelai satu persatu kertas baru yang tak berdaya di  atas kasurku. Sejak dari penciptaan, mereka sudah kehilangan harapan, setiap hari tubuhnya yang putih akan terus ternodai, olehku dan korporasi besar bernama dunia pendidikan.

Oh Tuhan, Semakin cepat monster itu berlari dan melompat, maka tak ada satu pun sudut yang terlewat untuk lidahku menjilati tubuh kertas itu. Jerit tangisnya adalah energi bagiku, ada kenikmatan tambahan ketika ia terus meronta. Terimakasih Maha Pemberi Nikmat…..

Bagi yang terus melawan dan mengganggu konsentrasiku merefleksikan kegilaan ini, akan kuremas tubuhnya, dan kukirim ke pengasiangan, TPS atau  menjadi bungkus goregan.

“Atas nama Cinta, ketulusan dan segala rupaya yang membenarkannya, aku bersyukur menjalankan kebebalan ini,”

Juri telah meniupkan peluitnya, tanda ronde kedua sudah berakhir. Aku tak menghiraukan. Terus saja kupenuhi tubuh kertas itu dengan anak yang tak diinginkannya. Tak ada titik atau koma yang menyudahi penyiksaan ini, sebab saat itu waktu hanyalah alat memperbesar kemungkinan membangkitkan kesempatan. Sampai tak kudengar lagi rintih tangis dan upaya membebaskan diri dari kertas-kertas itu. Kesadaranku kembali, kemudian kukemas mereka dalam wadah digital dan kubalas pesan itu.

“Selesai Bos,” seperti biasa keheningnya menyertainya.

*******

Pesan ketiga kuterima pukul 16.00 WIB. “Bagus, keren !”

Tak ada tekanan, semuanya serasa ringan saat dibaca. Pesan yang dikirim plus dengan ikon senyum, tangan kuat dan kalimat “Good” itu seperti menyudahi peristiwa yang terjadi sebelumnya. Aku keingungan menerimanya, sebab setiap kuterima pesan dari pasar gelap itu, sudah kusiapkan segala konsekuensinya, termasuk harus melakukan tindakan keji berkali-kali.

Bagiku pesan ketiga ini cukup melegakan, tapi tidak untuk yang terlibat dan menghidupkan suasana saat mahluk itu tiba. Dingdig dan atap kamarku membuang nafas kecewa, mungkin untuk beberapa hari ke depan ia tak memiliki lagi tontonan yang meningkatkan birahinya. Rentetan buku, kemungkinan besar akan berteman lagi dengan debu, dalam waktu beberapa minggu ke depan mereka tak akan menyuplai bahan dan menyajkan hidangan dalam lamunan, tapi syukurlah mereka selalu mudah membangunkan mahluk biadab itu. Jam dingding untuk sementara akan bertugas sebagaimana fungsinya, mendikte setiap penyesalan dan menghitung harapan dalam setiap putaran. Pekerjaan sebagai notulen dan saksi mata terpaksa harus diberhentikan.

Lalu bagaimana denganku ? meskipun terbaca ringan dan tanpa beban, justru pesan itu membuatku menggigil, timbul rasa khawatir. Saat keadaan tak karuan, kudengar ada yang memanggil dalam lamunan. Suara yang biasa terdengar dalam hutan yang gelap dan berkabut, ah mahluk itu lagi. ia melambaikan tangannya, dengan bahasa tubuh ia memanggilku. Aku takut, takut tertipu.

Pesan ketiga itu mendatangkan gelisah, menumpahkan gundah gulanah. Membuatku menunggu, merawat harapan baru.

“Tuhan aku menginginkan pesan susuluan, pesan yang menjawab segala kebutuhan. Tuhan Aku ketagihan,”…….

Bandung, 9 Juni 2020

Comments

Popular posts from this blog

KEMERDEKAAN ALA ADDY GEMBEL FORGOTTEN

MENEMUI BATAS

PUISI RINDU