HIMBAUAN AJA


Pagi ini kegelisahaan menggila di dadaku, macam roh halus yang mencoba mencari tubuh untuk menyampaikan pesannya. Kegelisahan ini bukan tentang menunggu sesuatu, tapi bagaimana dan di mana menemukan cara mensiasati diri untuk lebih konsisten berdamai kata “kangen”. Sungguh keadaan inimembuatku tak menemukan cara mencairkan rindu yang membatu.

Kegelisahan ini mendorongku pada pikiran yang sunyi. “Mati kau di koyak-koyak sepi…” begitu kata Chairil Anwar.

Awalnya biasa saja yang tadinya hanya membara di dada, kini mulai menjalar ke atas kepala. Lengkap dengan ratusan tanda tanya, pelan-pelan gelisah ini merayap. Tak ada suara, seperi Rambo yang menyelinap di marakas Vitkong di malam hari. Ah, sungguh pagi yang membuatku nyeri.

Tapi semuanya menjadi gaduh, ketika Bapak menjawab pertanyaan tetangga tentang keberadaan Ibu.

“Ibu ke mana Pak ? sudah kembai ke Bekasi ?”

“Alhamdulilah sudah, kemarin di jemput travel, berangkat dari rumah si Teteh, biar gampang sopirnya cari jalan,” kata bapak.

“Oh, mudah-mudahan si Ibu selamat dan tak dipulangkan petugas Pak,” balas si tetangga.

“Ya, mudah-mudahan, sebab kasihan masih banyak yang harus diurisi,” jawab Bapak.

Percakapan singkat itu seolah merenggut semangat bapak yang gemar membersihkan halaman depan di pagi hari. Keceriannya lumpuh seketika. Bagi yang lain mungkin itu pertanyaan biasa, tapi bagi bapak tidak. Terdengar bapak mengelas nafas panjang, kemudian bahunya runtuh dan itu adalah ciri bahwa kegelisahan yang sama denganku mulai menjalar di tubuh bapak.

Pagi yang menyebalkan, diantara hujan pekerjaan, dan gemuruh badai Pandemi, kini kami berdua harus melindungi diri dari penyakit gelisah yang mulai hinggap di rumah.

……….

Katanya, penyakit ini sulit ditangani, obatnya sulit di cari, tapi aku tak tinggal diam. Segera aku pergi dari rumah untuk menemukan obat, herbal atau kimia apapun itu aku akan kubeli meski dengan harga yang mahal. Kepergianku tak di ketahui Bapak, buka tak ingin pamit, hanya saja aku tak ingin menjadi anak durhaka karena mengganggu waktu istirahat bapak. Saat itu aku yakin bapak tidak tidur, ia hanya meredakan nyeri dari penykit gelisah yang pagi ini menyerang tubuhnya.

Meski tertatih-tatih karena nyeri yang sama dengan bapak, kutelusuri jalan sempit menuju Apotik yang tak jauh dari rumah. Kakiku gemetar, tubuhku masih terasa dingin dan angin yang berhembus tajam tak sedikitpun terasa. Tak ada keringat yang harus tumpah karena berjalan kaki, matahari pagi pun tak bisa menghilangkan kegamangan karena penyakit ini.

Aku terus berjalan…. 

Sebuah Apotik legenda paling terpercaya ku tuju,  Apotik Amanah, tapi masyarakat lebih mengenalnya dengan Apotik Jufri, sebuah kesan akrab yang digunakan berdasarkan nama si pemilik, Pak Jufri. Tak ada tepuk tangan yang menyambut perjuanganku, tak ada “Finish” di sana, hanya ada tulisan “Selamat datang dan Semoga Sembuh Seperti Sediakala”, sungguh Pak Jufri pandai memberikan motvasi.

Tak ada antrian nomer periksa dokter, juga tak ada antrian pembeli obat. Sebuah landscape yang tak bisa dari sebuah toko obat yang melegenda. Hanya ada, Pak Jufri yang melamun di atas etalasenya.

“Selamat Pagi Pak, anu mau cari obat,”  tegurku memecahkan lamunan Pak Jufri.

“kamu gak salah tempat, cari obat apa ?” spontan Pak Jufri menjawab tanpa memalingkan pandangnnya.

“ini Pak, saya cari obat nyeri Pak,”

“Nyeri ?” Pak Jufri keheranan, ternyata jawabanku mendapatkan perhatian.

Ia memalingkan pandangannya padaku, sinis dan aneh. Sebuah pandangan yang biasa dilemparkan seorang apoteker untuk menganalisis keluhan konsumen. Ia mendekatiku dengan cepat, meninggalkan setiap lamunan dan memecahkan hening yang hinggap di toko miliknya.

“Nyeri apa kamu ? yang jelas kalau bicara soal Nyeri,” katanya tegas.

“Saya dan bapak saya nyeri ini pak, anu nyerinya awalnya di dada kemudian ke kepala, kaki saya juga gemetaran waktu jalan ke sini, dan badan saya ini dingin pak. Kalu bapak saya kurang jelas, tapi mungkin dia merasakan hal yang sama Pak,” kataku menjelaskan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Pak Jufri hanya terdiam, pandangannya beralih ke bawah dan bibirnya mengeluarkan senyum kecut.

“Kamu dan bapakmu kemungkinan mengalami penyakit yang sama dengan orang-orang,” katanya sambil tersenyum dan menggelengkan kepala.

Tak seperti biasanya Pak Jufri mempersilahkan aku masuk ke ruangan tempat ia melayani pelanggan dan menyuruhku duduk. Sebuah jamuan pagi yang tak kuhrapakan, dipikiranku hanya tumbuh keyakinan bagaiamana menyembuhkan aku dan bapakku.

…………

Etalase di dalam toko Pak Jufri penuh dengan obat yang berdemu, katanya sudah hampir lebih dari satu bulan tak ada yang datang berobat. Kalau pun ada mereka menanyakan hal yang sama denganku, mencari pengkal nyeri dari rasa gelisah. Kemudian Pak Jufri memberikan kusebuah petunjuk, entah nasihat atau apa lah namanya aku tak tahu, sebab semakin nyaring ia berkeluh kesah tubuhku larut dalam kedinginan yang tak biasa.

Apa yang disampaikan tukang obat itu seperti paku yang menancap. Barangkali ada alat untuk menguji seberapa tinggi kegelisahanku waktu itu, mungkin sudah pada level mengkhawatirkan. Pak Jufri terus mencamkan keluh kesahnya, sebuah rasa takut yang semakin membuatku kalut. Dia tak pernah tahu kondisiku, tak satupun kata yang kubalas atas segala spekulasinya yang kini menghiasi langit tokonya.

……..

Pagi sudah minggat, menyuruh siang berganti peran. Itu juga yang menghentikan serbuan keluh kesah Pak Jufri padaku, selebihnya dia hanya memberikan saran dengan mengepalkan secuil kertas padaku.

“Baca saja, dan lakukan itu bersama bapakmu,” katanya lunglai.

“Baik, terima kasih,” kataku.

Aku melangkah keluar toko, sedikit menghela nafas panjang sebelum harus berjuang menelan panasnya jalanan. Pak Jufri tak mengantarku, kulihat dia duduk di tempat semula sebelum aku datang, tanpa bersuara, dengan wajah yang sama, tatapan yang sama, dia menyambung lamunannya, menyusun kembali puing-puing pikirannya sebelum runtuh karena kedatanganku.

Aku maju melangkah, dengan rasa nyeri yang semakin menjadi. Tanpa obat di tangan, entah apa yang harus kusampaikan nanti pada bapak. Mungkin bisa saja karena tak menemukan obat aku bakal menjadi anak yang durhaka.

Kusentuh setiap dingding rumah yang berderetan, lompat dari satu pagar ke pagar yang lain. Pelan-pelan kurasa aku harus bedamai dengan nyeri ini, harus bisa mengendalikan kegelisahan yang merusak hari-hari. Cengkraman jari disetiap tiang besi dan gaduhnya suaraku tak pernah membangunakan tetangga dari tidurnya. Mungkin mereka merasakan hal yang sama. Dalam keadaan terluka, bahaya bagi seseorang menjenguk luka yang lain.

Dengan langkah yang rapuh dan kebingungan menyelimuti, penyakit ini semakin menjadi. Rumah yang berderetan, langit yang terbuka dan matahari yang tak mampu menembus dinginnya tubuhku menjadi karpet merah sekaligus peta menuju rumah.

Aku terus berjalan.....

Akhirnya tepat di depan pagar rumah, aku tersungkur. Bapak keluar menolongku, meski langkahnya tertatih karena nyeri, pria tangguh ini membopong anak bungusnya. Bapak tak tahu aku membawa kabar tak baik di saku celanaku. Aku duduk di ruang tamu, ruang yang seakan penuh mata dan sudah siap menyaksiakan keluhan kami berdua.

Wajah bapak pucat waktu itu, tapi ia berpakain rapih sekali, badannya wangi sehabis mandi, menggunakan baju koko putih, sarung hitam dan peci. Penampilan yang berbeda sejak aku pergi.

“Kamu dari mana ?”

“Apotik Pak Jufri” kataku.

“Beli apa ?”

“obat,” jawabku

“siapa yang sakit ?”

“aku dan bapak.”

“sakit ?” tanya bapak heran.

Aku mendadak aneh dengan jawaban bapak. Bapak seperti menyimpan nyeri, tapi dia tak memperlihatkan rasa sakitnya. Gelisahku menggebu, penyakit ini semakin menggila mendengar jawaban bapak. Apa aku salah prediksi. Sial !

“Kamu aneh, Bapak baik-baik saja,”

“Lalu percakapan tadi pagi ? lalu bapak yang tertidur seperti menahan sakit, itu bukan apa-apa ?” tanyaku.

Bapak hanya tersenyum, kemudian meningalkan aku dan jutaan pertanyaan di keningku, seperti orang-orang yang sering kutemui setelah Idul Fitri. Bapak pergi beribadah, dan aku ke kamar, tempat kecil yang mana saat itu aku mempersilahkan penyakit itu datang memelukku. Ruang di mana semuanya seperti menyerangku. Mulai dari masa lalu hingga mimpi yang menuggu di jemput.

“Jufri memberikanmu resep apa ?” kata Bapak yang muncul tiba-tiba

“Entahlah Pak, hanya secarik kertas mungkin resep. Awalnya dia hanya bercerita tentang toko 
obatnya yang sepi orang sakit, sepi keluhan, tapi tadi segala keluhan seperti hanya miliknya, dan aku sedih juga nyeri mendengarnya,” jawabku

“mana obatnya ?”

Kuberikan selembar kertas kecil yang sudah kumal dari sakuku, keberikan pada bapak yang masih rapi dengan pakaiannya. Dibuka dan dibaca, sekali lagi ekspresi yang sama, bapak hanya tersenyum

“Bacalah,” suruhnya.

Kemudian ku buka, di sana tak ada tulisan resep obat atau jamu yang harus ku beli. Hanya Tulisan tangan ala apoteker yang cukup jelas. “Bertahanlah di rumah saja, tetap berdoa dan merawat harapan.” Hanya itu yang tertulis, tak ada nota pembelian, atau intruksi untuk mecari dan mengkonsumsi obat tertentu. Dan suara gelak tawa bapak memberhenti waktu, menghilangkan rasa nyeri juga meredakan gelisah di dadaku.

………..

Sepuluh hari sudah lebaran pergi, orang-orang masih saja kebingungan mendefiniskan arti kemenangan. Ratusan tanda tanya hinggap di kening mereka, termasuk aku. Wajar saja, lebaran tahun ini terasa berbeda, tak ada suasana kampung halaman, tak ada takbir di lapangan dan tak ada sentuhan tangan sebagai tanda saling memaafkan

Bandung, 4 Juni 2020

Comments

Popular posts from this blog

KEMERDEKAAN ALA ADDY GEMBEL FORGOTTEN

MENEMUI BATAS

PUISI RINDU