BANDUNG JUARA KETIKA SEDANG "BERDUKA"
Kota
Bandung dikepung mendung , barangkali hujan
sudah turun di kepala pemimpinnya. Satu tahun terasa Kota ini sudah layaknya
Jakarta dengan jutaan problema didalamnya. Panasnya sudah membakar kening,
matahari satu jengkal diatas kepala, lalu lintas sudah padat dan terkadang
membuat berhenti arus sabar, lalu berbelok arah mengikuti jalur amarah. Apakah
berkendara kita mesti berdarah-darah layaknya film action Hollywood ? sungguh keadaan yang tak mengada-ngada.
Setiap
hujan turun masyarakat kecil menjadi penyaksi dan hanya memunguti sampah dari mulut-mukut yang
terbakar dan kehausan, dikumpulkan namun bingung harus dikemanakan. apakah
keluhan sederhana itu menjadi syarat
mengetuk ruangan birokratnya ? atau mungkin ini resiko yang harus
dipikul masyarakat bila selalu memunguti setiap keluhan dan aspirasi ? kiranya
hal itu sudah menjadi kewajiban bagi setiap masyarakat untuk mengevaluasi
pemimpinnya, tanpa harus di sosialisasikan seperti “Rebo nyunda dan Kamis inggris”.
Bandung
Kota Kembang, sejuk masih terasa di Lembang sementara dipelosok, kembang sudah
tak berkembang, pohon-pohon sudah tumbang, kicauan burung serta kupu-kupu sudah
lama pula hilang. Kebingungan terjadi diantara
Bandung Juara, yang juara hanya Alun-alun, Dago dan pusat Kota lainnya,
sementara hujan yang sedang mengepung Kota Kembang tetap turun dan beberapa lokasi hampir “MATI” tergenang air bah, maka
kebingungan menjerat gelar JUARA yang disandang oleh visi misi
Bapak Wali Kota tercinta.
Seperti
yang baru-baru ini terjadi, daerah Pasteur, Setiabudi, Pagarsih, Nurtanio
tergenang ribuan kubik air, bahkan hingga menelan satu korban, rasa kaget dan
sedikit gembira pasti bersarang dibenak warganya, mengapa demikian ? pertama rasa kaget karena
disalah satu media WaliKota Bandung yang akrab disapa Kang Emil ini menemukan fakta bahwa yang menyumbat aliran
sungai Citepus adalah bangunan hotel serta kantornya juga beberapa rumah warga,
dan dengan segera melalui pihak Kecamatan Kang Emil akan melakukan pemangkasan
bagi apa saja yang menghalangi jalur sungai Citepus.
Melihat tindakan yang reaksioner membuat banyak orang terkagum-kagum namun juga tak luput
dari banyaknya pertanyaan yang timbul, bangunan dan rumah warga yang mungkin
sudah menduduki lahan itu bertahun-tahun harus dibongkar tentu akan menimbulkan
permasalahan yang baru, persoalan hak kepemilikan tanah. Jika memang jalur air
sungai Citepus terhalang bangunan hotel dan rumah warga, lalu mengapa
pemerintah Kota, dulu memberikan izin untuk membangun didaerah aliran sungai ?
apa terjadi tumpang tindih visi misi kepemimpinan? Maka sudah taka sing lagi
bila masyarakat berspekulasi
jangan-jangan pemerintah Kota baru menyadari hal itu ketika peristiwa ini
terjadi ? jika begitu mungkin tindakan WaliKota dan kolega terlihat seperti “pahlawan kesiangan” yang kehilangan
lawan karena bangun terlalu siang, dibanding tindakan reaksioner, dilematis bagi Kota yang menyandang gelar
Kalapateru.
Kedua,
rasa gembira menyambangi hati warga, karena warga seperti menemukan wahana
bermain air baru di Kota Bandung. Melihat bebrapa waktu lalu banyak masyarakat
yang menginginkan dibuatkan wahana pantai buatan, tentunya wahana air Pasteur
ini bisa menjadi daya tarik bagia siapapun terutama anak-anak, wajar saja ,
anak-anak memang gemar bermain air dan nantinya mereka akan berkunjung bersama
keluaraga di foto bersama lalu mengunggah di Instagram dan menggunakan tagar #NuhunKangEmil. Tentu akan menambah followers bagi pemimpin yang mengikuti trend di media sosial agar terlihat lebih fungky.
Meskipun
menurut ramalan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
memperkirakan hujan ini akan berlangsung cuckup sering dengan kecepatan angina rata-rata 15 kilometer per
jam, suhu berkisar anatar 20-29 derajat celcius dan kelembaban udara sekitar
55-96 % hal ini tetap harus diwaspadai, karena hujan pada tanggal 29-10-2016
baru saja turun di daerah Gede Bage, hujan yang lebat, turun disertai angina
kencang dan doa-doa yang tercurah dari warga Gede Bage, baik yang sedang
berteduh, mendorong motor serta para pedagang yang ada di pasar. Lagi-lagi
masyarakat meski menyaksikan kejadian
yang memang terkesan sudah lumrah ini, karena diketahui atau tidak ketika banjir terjadi
Kang Emil selaku pemangku kebijakan di Kota ini memposting foto di media Instagram bahwa sudah ada “tol air” didaerah Gede Bage, tentu
rasa lega menjadi pelipur dahaga lega karena ketika Pateur tergenang banji
daerah Gede Bge sudah membaik dari penyakitnya.
Namun
sayang, seribu sayang ternyata ketika hujan berkunjung ke Gede Bage “tol air” karya bapak Wali Kota itu,
ikut tergerus arus kuat banjir tersebut, entah dongeng dan peristiwanya seperti
apa yang jelas tol air tak mampu membendung aliran air tersebut. disitu
masyarakat sebagai penyaksi merasa
sedih, lagi-lagi mereka mesti mengutuk diri karena tak mampu melakukan apapun sementara sampah
keluhan ikut mengambang tergenang di banjir langganan ini. Jika sudah seperti
ini sepertinya Bandung Kota Kembang ini harus kembali di perjuangkan maknanya,
sebab disadari atau tidak persoalan yang sedang bersemayam di Kota tercinta ini
sudah semakn kompleks, bak getaran
bom yang diajatuhkan oleh sekutu ke Kota Hiroshima dan Nagasaki.
Persosalan
air yang menggenang sejatinya tidak lepas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Daerah
Aliran Sungai (DAS).seharusnya setiap
wilayah mesti memiliki 30% RTH dari luas daerah aliran sungai , pertanyaanya
apakah kota Bandung sudah memiliki 30% RTH? Apakah DAS di Kota ini tidak
mengalami penyempitan badan sungai ? saat ini Bandung hanya memiliki 8,67 % RTH,
berarti hanya sekitar 1700 hektare RTH sedangkan 30% itu berarti 6000 hektare
RTH dari luas wilayah 16.729,66 hektare 8,67 % tidak akan membuat Bandung
sesejuk dahulu kala. Jika Kota Bandung tanpa RTH maka sinar matahari yang
menyinari itu hanya 90% itupun akan menempel pada aspal, genting rumah, dan
bangunan lainnya yang ada, sementara 10% akan kembali ke angkasa hal itu yang
membuat suhu di Bandung sudah terlalu panas, berbeda jika disediakannya RTH
maka 80% sinar matahari diserap pohon yang akan membantu siklus fotosintesis,
10% kembali ke angkasa dan 10 % lagi menempel di aspal. Tentu jika itu terwujud
maka Bandnung akan sesejuk tempo dulu yang dikisahkan para leluhur kita.
Sosialaisasi
yang digunakan di era globalisasi ini
tentu tak pernah lepas dari yang namanya media sosial, bahkan pemimpin di Kota
Kembang ini menggunakan itu sebagai alat untuk mengkampanyekan programnya,
tenttu hal ini mampu mendorong dan mengarahkan publik agar mengatakan terbosan
yang dilakukan adalah sebuah inovasi
terbaru tidak hanya itu apa yang dilakukan pemimpin di Kota Kembang ini
berhasil menjadi pioneer bagi Wakil
Rakyat lainnya. Melihat fenomena yang seperti itu memang sudah tidak bisa
dibendung lagi, layaknya tol air yang berusah membenung banjir. Hal ini tak
lepas dari gelar yang disandang yaitu Bandung Varis Van Java atau Bandung
sebagai Kota Fashion, kita bisa
melihat itu semua dari banyaknya banguna pembelanjaan dengan harga murah serta
kuliner yang di jajakan menjadi sebuah syarat bagi turis domestic untuk datang ke Kota ini. Belum lagi lokasi yang menjadi
obyek wisata tentu menjadi alat yang fital mengingat hal ini akan menguntungkan
pengusah dan pemerintah Kota. Digandang-gandang akan adanya Kota tekhnopolis yang berbasis pariwisata
serta sektor usaha tentu menjadi faktor penting terhambatnya usaha membangun
RTH dan kondusifitas DAS yang memadai. Persoalan ini sudah sering menjadi
awalan untuk masyarakat mengugat, namun sayang hal ini kerap kali dianggap
angina lalu. Maka wajar saja hujan yang turun sering diikuti angina kencang,
kemungkinan ini adalah angin karma, wajar karena pemimpin Kota ini sering
mengkaitkan programnya denga asmara.
Bandung
Kota Kembang dan hari ini menginginkan Juara seharusnya bukan hanya tulisan dan
kata-kata yang membutakan semua masyarakatnya kareana berbau sebuah romansa.
Selayaknya makna yang tersirat, pemaknaan yang ditulis sebagai selogan haruslah
tumbuh dan berkembang di sanubari masyarakatnya. Bersinergi dari seluruh
lapisan masyarakat baik dari pemimpin hingga rakyatnya menjadi kunci awal
menuju Bandnung Juara. Jika persoalan di Kota ini sudah mampu diselesaikan maka
menjadi fatwa yang sah “bumi pasundan lahir ketika Tuhan sedang
tersenyum” yang dikenang M.A Brovwer. Tulisan yang terpangpang disalah
satu dingding Kota Bandung ini menjadi sebuah slogan yang filosofis dan sarat
akan spiritualitas serta kecintaan, namun itu semua akan gugur apabila hari ini
Bandung tak mampu membangkitkan masa kejayaannya baik menjaga lingkungan,
perkembangan ekonomi, budaya dan rasa cinta masyarakatnya maka “
Tuhan sedang menangis ketika bumi pasusndan dilahirkan” dan airmatanya
menggenang disetiap titik banjir Kota Bandung.
M Elgana Mubarokah
Comments
Post a Comment