SURGA DI JAKARTA



Sore ini di Taman Lalu Lintas
seperti biasa, aku membawa kertas untuk melampaui batas.
Kali ini tanpa kopi, namun aku ditamani berita tadi pagi
Hmmm…
Meredam dendam dengan bara, Jakarta ditutupi sorban sutera,
aku bertanya, tentang penistaan dan kondisi istana
meraba-raba menemukan duri dalam daging, aku menyentuh luka bekas sayatan beling.
Jika kebenaran menjadi ujung tombak keyakinan, lalu mengapa hanya persoalan kesucian yang dibawa saat unjuk rasa ?
Dimana letak oaring-orang miskin  yang lapar dan perutnya dikoyak-koyak hingga ia menjadi liar ?
dimana letak kaum miskin yang terbuang, sementara saku pemimpin sudah menyerupai mesin pencetak uang ?
Bahkan kenyataan adalah kapsul pahit yang mesti ditelan anak-anak saat lonceng tiba.
Pisau, gesper menggantikan isi kantong dan celana, arak dan leksotan menjadi pilihaan belajar bersama.
Aku tak melihat gugatan disana, hanya menemukan kalimat “maklum saja, jiwa muda”.

Aku melihat orang-orang berteriak membela kesuciannya, sementara pembelaan tak pernah hadir di pintu Rumah Bordir.
Aku menyaksikan takbir menggelegar seperti petir, aku mendengar pula perbedaan dianggap kafir.
Aku merasa direndahkan, ketika kesucian menjadi kasar dan kurang ajar hanya karena merasa benar.
Aku tersakiti saat keyakinan menjadi produk jual beli sedangkan ajarannya digunakan untuk tujuan materi.
Aku malu saat saudaraku membela Ayat Suci, sementara kitab-Nya berdebu dalam lemari.
Sore ini aku merasa dihisab sepi,mesti berkaca dalam sunyi,
sementara nalarku berfikir keras di Taman Lalu Lintas, sambil menulis puisi aku mencoba berdiskusi dan bertanya pada diri kemanakah kehidupan dan toleransi ?

Bandung , 3-11-2016

Comments

Popular posts from this blog

KEMERDEKAAN ALA ADDY GEMBEL FORGOTTEN

MENEMUI BATAS

PUISI RINDU