DITANTANG WAKTU



Sumitra menarik niatnya untuk menjadi seorang penulis handal, dia masih bertanya-tanya tentang kebingungan itu. Sampai saat ini belum ada jawaban pasti atau alasan yang pas mensiasatinya. Sumitra berhenti berbicara dengan sekiranya, dengan suara dalam hatinya.

Malam dihiasi rembulan, Sumitra terlentang dikamar yang sepi. Memandangi bulan tanpa henti, ia menyampaikan keluhan tentang apa yang terjadi, melaju tanpa henti Sumitra seolah menemukan teman bicara, menemukan ruang pada malam penuh cahaya. Berkali-kali ia berkata pada bulan yang dilihatnya, bulan hanya malu tersipu menyembunyikan wajahnya dengan awan hitam di dekat bintang.

Sumitra terlelap disaksikan bulan yang berpindah haluan. Menjelang subuh tak ada laki pertanyaan. Hanya angin yang mengoyang pepohonan hingga pagi menjelang, Sumitra merasakan perbedaan. Ia hanya termanggu melihat secuil kertas, telepon genggam dan beberapa buku tentang penyair yang sakit karena tulisannya.

Sumitra berjejal dengan sesal, ingin kembali mengisi harinya dengan puisi dengan diskusi tapi apa daya, keadaan dalam rumah memaksanya berhenti tanpa alasan, hanya saja semuanya disebabkan karena kebutuhan hidup yang tak bisa diajak kompromi. Ia teringat tragedi masa kecil, masa remaja yang di kucilkan oleh waktu, oleh kenyataan. Teringat kembali beberapa potong kertas berisi nota dimana rumus matematika mencoba mencari makna dalam giatnya kehidupan Sumitra.

Teh hangat tak lagi menjamunya, rokok dan beberapa cemilan pagi mulai asing dan menjauhi Sumitra, ia hanya menarik nafas panjang mencoba mengingat sebuah tulisan yang ia buat. Sebelum memulai tugas, ia mendekati buku diatas meja sambil membawa gelas berisi air putih, satu persatu ia buka buku yang penuh puisi itu, sampai berhenti pada satu titik keseimbangan. Kembali Sumitra mencuri nafas, ia membaca salah satu tulisannya, dengan serius dan berulang, kembali Sumitra mencari makna.

Raut kesal dan penasaran berjejer di keningnya menjadi kerutan, ia menghampiri dirinya dalam puisi di buku, berkaca pada apa yang ia tulis, mencoba mengarungi secara perlahan sentuhan serta keadaan bahkan peristiwa di dalam bait yang berdesakan.
Tanpa sengaja, tanpa dugaan pula Sumitra merasa dihakimi, seolah di tertawakan kembali sama seperti apa yang ia rasakan di waktu kecil. Sumitra merasa dirinya dibuang tanpa alasan. Ia meremas tulisannya, ia terbakar makna teratur rima. Sumitra merasa bahwa dalam hidup tak harus terus menggugat, ia mesti menahan keinginan namun apa daya rasa cinta terhadap tulisan tak sebanding dengan kekalahan panglima di medan perang.

Goyah tak berdaya rubuh tanpa sisa, Sumitra merasa di hisab tulisan di hantui kata-kata. Mereka mencoreng wajahnya, berbisik dengan nada keras, hingga ia tertidur pulas. Sumitra memenuhi panggilan waktu, ia mencoba mengenali wajahnya. Meski remang dalam mimpi tak menyurutkan keinginan dan keberanian Sumitra. Waktu yang berwujud Dewi Asmara, cantik jelita dan menawan, 

Sumitra dimanjakan olehnya, dimandikan dengan air susu disuapi kata-kata palsu. Ia tak merasakan kegelisahan apapun. Suasana yang jauh berbeda dengan sebelumnya, ia tak lagi menggugat pertanyaan tentang keinginannya menjadi penulis handal, tentang keadaan yang menghakiminya. Sumitra tak mau bangun dari mimpinya, dari keadaannya. Sumitra memilih diam dan menikmati keadaan.

Comments

Popular posts from this blog

KEMERDEKAAN ALA ADDY GEMBEL FORGOTTEN

MENEMUI BATAS

PUISI RINDU