Menjadi manusia
Sajak ini kutulis dalam pencarian
kedigdayaan hidup manusia terletak pada kesetaraan, aku menyusuri relung diri, mengimani petanda yang menjadi api.
Sebagai sebuah penantian panjang
di ujung abad, jawaban-jawaban menunggu di ucapkan
yang disembunyikan akan bersaksi dihadapan peristiwa, yang dibiarkan akan menghadang dan membias di cakrawala.
Bagaimana aku bisa membaca gejala ini?
sementara kekasihku Khairani tak kunjung tiba di dalam kalbu
atau ia sudah ada, namun menjelma aku?
Bagaimana aku menawarkan ketenagan hati, sementara sajak ini mengajaku berdamai dengan diri
membenahi jiwa, memembawa perjalanku menuju lembah, kemanusiaan namanya.
Ketidakberdayaanku dihadapan kata-kata dan nyanyian para ulama, seolah menjadi jerat
menjadi lukisan panjang penuh warna,
menjadi musim tanpa petanda
Aku dikurung sebagai manusia.
Sajak ini menanti aku kantongi
sebagai bekal dikemudian hari.
Ia menjadi peta dalam dada, memberi ketenagan nurani
meski bergejolak ia mampu menjadi kekasihku Khairani.
Dalam setiap langkah aku mesti meninggalkan jejak, mesti memberi cahaya,
sebab sejatinya sajak ini adalah pesan menangtang dewa.
Bandung, 23-10-2016
Comments
Post a Comment