HUTAN HUTAN PAMALANG
Debu-debu bercampur tanah merah 
sepatu, truk besar datang menjarah, di tanah indah matahari marah, wajahnya
merah tanpa sapaan ia terluka.Burung berbulu biru menari di hari ulang tahun keponakanku,
ia berputar hingga warnanya memudar,
Sarangnya pindah diantara besi besi karat.
Pemalang ditunggu pemenang
membelah lebih dahsyat dari laut merah
siapa dia? Pantaskah aku memanggilnya dewa?
Pemalang bukan yang pertama, ia ujung luka.
Jalan panjang tak lagi liar
kini ramai dikeremuni pagar
Laron sudah tak suka cahaya, lebih baik membakar tubuhnya pada api.
Perut-perut kelaparan menghadapi satu jalan panjang
hasil bumi sudah lepas dari harga diri, lebih baik menanam tembok, bunga bunga sudah mati sejak tanah ini berganti fungsi.
Dimana Sanjaya? Leluhur tanah.
Dimana Kresna? Yang bijak tanpa panah.
Disini pertarungan lebih dahsyat dari Mahabrata.
Pendangkalan daya hidup hampir pada puncaknya.
Siapa dia? Apa pantas aku panggil dewa?
Benalu lebih mirip paku.
Dedaunan berlubang oleh hama kehidupan.
Tak ada ruang tak ada angkasa, berkaca pada hidup ialah menyalahi aturan
hanya disini di hutan yang kehilangan kesegaran.
Kini sudah empat tahun berlalu, bahkan setahun berkembang
Keponakanku diambang zaman kebingungan
kelak ia akan sulit bertanya, akan sulit bernafas dan buta karena dilema.
Keduanya akan sering merenung
mencari Tuhan dalam diri
mengenal sejahtera tanpa makna.
Lihatlah jejak ini:
Apakah sajak ku akan merusak hidup mu nantinya?
Jika tak menemukan jalan, bertanyalah pada tanah mu
dimana hutan hutan Pemalang, dimana burung berwarna biru, dimana hasil bumi yang memaknai diri.
Batang, 03-09-2016
#lagutuabulansembilan
Comments
Post a Comment