SAJAK DI KAMPUS ALERGI



Malam semakin larut
dingin jadi syarat
malaikat mencatat semalaman
bintang jatuh jadi sembilan atau bulan sabit jadi alasan.

Ada pendapat terjaga, berbisik di bangunan penuh lindungan, berdiskusi di ruang sempit padat kepentingan.
Gelar-gelar menunggu dijemput, ia menutup telinga karena pengeras suara. Maksud baik sulit berpihak
sebab kabut dan tali saudara sudah rumit disablon lambang golongan.
Anjing menggonggong tengah malam koloninya lapar minta makan.

Esok hari fajar tiba
matahari berdiri diatas kepala
seperti biasa, kampus tanpa peta, tanpa perkenalan,
sementara angsuran menggunung untuk modal penyambutan.

Malam dalam kenangan
tersendat di tiga pohon dalam kesadaran, kesaksian dan semangat yang dilumpuhkan.
Hitung lagi bintang diatas dada, kembalikan bulan pada porosnya.
Renungan hanya milik kampus alergi, hanya punya mahasiswa tanpa gizi, hanya ada pendidik yang ikut berpartisipasi.

Tak apa gelap berdiri dihadapan kita
sementara beberapa saudara berbicara perihal pertemuan.
Dengan apa kita mesti memberi kabar?
Yin dan Yang hanya milik segelintir golongan.

Bandung, 30-08-2016
#meredekalahkemerdekaan

Comments

Popular posts from this blog

KEMERDEKAAN ALA ADDY GEMBEL FORGOTTEN

MENEMUI BATAS

PUISI RINDU